Tuhan

Ikhtisar

Rebecca Denova
dengan , diterjemahkan dengan Hafizh Al Kapid
diterbitkan pada 15 November 2022
Dengarkan artikel ini
X
Artikel Cetak
The Creation of Adam by Michelangelo (by Alonso de Mendoza, Public Domain)
Penciptaan Adam, karya Michelangelo
Alonso de Mendoza (Public Domain)

"Tuhan" adalah istilah yang umum digunakan untuk menyebut identitas keberadaan tertinggi yang melampaui dunia kita, sang pencipta segala sesuatu, dan yang mengatur segalanya bersama divinitas yang lebih rendah (malaikat). Di Yunani, kata theikos berarti sifat atau kekuatan yang maha dahsyat/serupa tuhan. Maka teo-logi adalah kajian tentang hakikat Tuhan dan relasi Tuhan dengan umat manusia.

Kata "god"/tuhan dalam bahasa Inggris merupakan istilah Jerman yang pertama kali digunakan di abad ke-6 dalam Christian Codex Argenteus. Asal katanya, yaitu gudan, memiliki arti "memanggil" atau "memohon" sebuah kekuatan. Dalam tradisi Barat, istilah "tuhan" merujuk pada Tuhan agama Yudaisme, Kristen, dan Islam. Ketiganya merupakan agama Abrahamik karena sama-sama mengakui bahwa tuhan dimaksud telah menampakkan diri kepada leluhur mereka yaitu Abraham (Ibrahim). Alkitab berbahasa Inggris menyebut keberadaan tuhan ini dengan “God” (Tuhan), menggunakan huruf kapital untuk membedakannya dengan tuhan-tuhan yang lain.

Sisihkan pariwara
Advertensi

Kebudayaan-kebudayaan Kuno

Alam semesta dalam konsep-konsep kuno didalilkan dengan adanya surga (persemayaman para tuhan), bumi (tempat tinggal umat manusia), dan dunia bawah tanah (tempat orang mati). Para tuhan dapat melintasi ketiga tingkatan wilayah tersebut. Banyak suku kuno mengukuhkan tuhan lokal sebagai pendiri klan mereka. Beberapa tuhan dikukuhkan dengan konsep dewa/dewi agung, atau tuhan raja/ratu, yang menguasai berbagai tingkatan kekuatan di alam semesta.

TUHAN ISRAEL TIDAK MEMILIKI PENDAMPING WANITA, DIA BERTINDAK SENDIRI MELALUI PERKATAANNYA.

Agama-agama kuno juga memiliki mitos penciptaan. Mitos penciptaan menjelaskan bagaimana segala sesuatu di alam semesta diciptakan (seringkali tercipta dari kekacauan), termasuk penciptaan manusia pertama dan masyarakatnya. Mitos-mitos tersebut kemudian memvalidasi aturan-aturan (ritual, tata krama, dan peran gender), yang semuanya dianggap berasal dari tuhan dan maka dari itu bersifat sakral.

Sisihkan pariwara
Advertensi

Kerasukan (divine possession) adalah cara orang-orang kuno berkomunikasi dengan tuhan-tuhan mereka (ritual dan praktiknya akrab sebagai divination/ramalan). Istilah orakel merujuk pada orang atau tempat, di mana tuhan berbicara melalui seseorang yang berada dalam kondisi seperti setengah sadar. Padanan orakel dalam agama bangsa Yahudi adalah para nabi. Tuhan akan "merasuki" mereka dan menyampaikan pesan kepada manusia. Alkitab akan menegaskan pesan Tuhan yang disampaikan itu dengan kalimat pengantar, “Beginilah firman Tuhan,” lalu paragrafnya akan dibuat menjorok ke dalam dan disusun seperti puisi.

Tuhan Bangsa Israel

Kitab Kejadian (selanjutnya ditulis Kejadian) dalam Kitab Suci bangsa Yahudi mengukuhkan Tuhan sebagai tuhan tertinggi bagi bangsa yang belakangan menjadi bangsa Israel. Bagi bangsa Israel, Tuhan menciptakan dan mengatur semua aspek dalam alam semesta. Tuhan Israel tidak memiliki pendamping wanita, Dia bertindak sendiri melalui perkataan: “Berfirmanlah Tuhan: “Jadilah terang.” (Kejadian 1:3). Hal tersebut bukanlah satu-satunya; agama Mesir kuno menyatakan bahwa tuhan pencipta yaitu Ptah, melakukan penciptaan melalui ucapannya. Tuhan Israel kemudian menciptakan sepasang manusia pertama yaitu Adam dan Hawa, yang diperintahkan untuk beranak-pinak.

Sisihkan pariwara
Advertensi

Peristiwa kunci dalam Kejadian terdapat pada pasal 12, yaitu pemanggilan Abraham dari Ur, wilayah Mesopotamia. Abraham akan menjadi bapak bagi bangsa yang besar; namanya berubah dari Avram ke Abraham, dan dia akan dianugerahi tanah Kanaan yang subur untuk klan dan hewan ternaknya. Keturunannya akan makmur dan dilindungi selama mereka menyembah dan menaati Tuhan. Tuhan memerintahkan Abraham dan keturunannya untuk melakukan sunat yang berfungsi sebagai penanda fisik permanen untuk membedakan bangsanya dengan bangsa-bangsa lain.

Circumcision
Sunat
Lawrence OP (CC BY-NC-ND)

Masyarakat kuno membuat kontrak dengan para tuhan mereka. Kontrak-kontrak itu berisikan penjabaran kewajiban bagi kedua belah pihak. Dari bahasa Ibrani untuk “memotong,” kita memiliki istilah “perjanjian.” Asal kata itu tercermin dalam ritual memotong hewan kurban menjadi dua seraya menyatakan sumpah kepada tuhan. Ada beberapa kisah bagaimana Tuhan Israel terlibat perjanjian dengan umat-Nya, antara lain perjanjian dengan Nuh, Abraham, Musa, dan Raja Daud.

El

Dalam beberapa catatan yang lebih kuno dari wilayah yang sama, El (jamaknya: Elohim) adalah sebutan umum dalam bahasa Het, Ugarit, Paleo-Ibrani, Kanaan, dan Aram, yang berarti kekuatan-kekuatan ilahi. Kadang El dipahami sebagai ‘tuhan’ secara spesifik. El juga sering diasosiasikan dengan penciptaan dan sering dilekatkan dengan sifat tertentu. Pada pemanggilan kedua Abraham oleh Tuhan dalam Kejadian 17:1, keberadaan-Nya dideskripsikan sebagai El-Shaddai yang berarti Tuhan yang Maha Kuasa. Dalam Kejadian 14:18-20, Abraham diberkati oleh El Elyon (yang Tertinggi) melalui Malkisedek, sang Raja dari Salem dan imam tuhan ini. Pengikut Tuhan kemudian menjadi bangsa Israel: “Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel, sebab engkau telah bergumul melawan Tuhan dan manusia, dan engkau menang.” (Kejadian 32:28)

Sisihkan pariwara
Advertensi

Yahudi menjadi istilah umum selama masa pendudukan Persia (abad ke-6 SM). Istilahnya berasal dari kata “Yehudi” yaitu “mereka yang berasal dari kerajaan Yehuda.” Selama pemerintahan raja Israel Utara, Ahab dan istrinya Izebel (871-852 SM), tuhan-tuhan keluarga Izebel (Ba’als, tuhan-tuhan orang Levant dan Kanaan) menjadi terkemuka. Melalui ajaran nabi Elia dan nabi Elisa (terdapat dalam kitab Raja-raja), Tuhan Israel dikukuhkan sebagai tuhan nasional. Konsep tuhan yang universal ditemukan dalam Yesaya: “Tidakkah kautahu, dan tidakkah kaudengar? Tuhan ialah Tuhan kekal yang menciptakan bumi dari ujung ke ujung” (40:28).

Isaiah
Yesaya
Michelangelo (CC BY)

Politeisme & Monoteisme

Sejak zaman Pencerahan, agama di dunia dibagi ke dalam polaritas. Politeisme (mengakui terdapat lebih dari satu tuhan) dan monoteisme (mengakui hanya ada satu tuhan). Sedangkan panteisme mendeskripsikan pengakuan terhadap beberapa tuhan dengan otoritas yang gradien, dan henoteisme berarti pengakuan adanya satu tuhan yang diangkat di antara tuhan-tuhan lain di bawahnya.

Peristilahan tersebut menyisakan masalah karena bukan merupakan istilah yang umum digunakan di dunia kuno. Lebih baik mengatakan bahwa masyarakat kuno telah berpartisipasi dalam pluralisme agama. Tidak ada kontradiksi dalam menjadi bagian dari beberapa kultus tuhan tertentu sekaligus. Orang zaman dahulu tidak mengartikulasikan konsep ketuhanan mereka sebagai kepercayaan atau iman (Yunani: psitis, “kesetiaan”) seperti yang kita lakukan sekarang. Mereka percaya kepada para tuhan, tetapi yang lebih penting adalah melaksanakan ritual dan pengorbanan secara benar, sebagaimana yang diturunkan oleh para tuhan kepada para leluhur. Tidak ada konsep seperti monoteisme kuno. Semua orang kuno adalah politeis dalam pengertian ini, termasuk bangsa Yahudi.

Sisihkan pariwara
Advertensi

Bangsa Yahudi kuno memiliki konsep hierarki kekuatan di surga yang meliputi pengadilan Tuhan yang terdiri dari “putra-putra Tuhan” (Kejadian 6:4), malaikat, malaikat agung, kerubim, dan serafim. Orang Yahudi juga mengenali keberadaan para roh jahat (demons) yang diyakini sebagai divinitas tingkat rendah, dan memperkenalkan konsep malaikat yang jatuh, yang menjadi asal-usul Satan, sang Iblis.

Dalam Kitab Suci Yahudi, Tuhan Israel sebagai pencipta yang hakiki bertanggung jawab atas terciptanya “tuhan-tuhan lain” dan secara konsisten mengacu pada keberadaan tuhan-tuhan dari bangsa lain: “Jangan lah kamu mengikuti tuhan lain” (Ulangan 6:14); “Tuhan memimpin pertemuan besar; Dia memberikan penghakiman di antara para tuhan” (Mazmur 82:1). Dalam kisah eksodus orang Yahudi dari Mesir, Tuhan berperang melawan tuhan-tuhan Mesir untuk menunjukkan siapa yang lebih berkuasa. Hal ini tidak masuk akal jika keberadaan tuhan-tuhan bangsa lain seperti Mesir ini tidak pernah diakui.

Moses Receives the 10 Commandments
Musa Menerima 10 Perintah Tuhan
Gebhard Fugel (Public Domain)

Kisah yang mendasari gagasan bahwa orang Yahudi adalah monoteis adalah ketika Musa menerima sepuluh perintah Tuhan di Gunung Sinai: “Aku lah Tuhan, Tuhanmu... jangan ada tuhan lain padamu di hadapan-Ku” (Keluaran 20:2-3). Ini tidaklah menunjukkan bahwa tuhan lain tidak eksis; ini adalah sebuah perintah untuk orang Yahudi agar tidak memuja tuhan-tuhan lain. Kita menggabungkan istilah pemujaan (worship) dengan iman dan penghormatan, tapi “memuja” dalam dunia kuno selalu bermakna pengorbanan. Orang Yahudi dapat berdoa kepada malaikat dan kekuatan surga yang lain, tapi mereka melakukan pengorbanan hanya kepada Tuhan Israel. Perintah ini adalah salah satu pembeda utama antara orang Yahudi dengan kultus tradisional etnis lain. Pembeda ini diperjelas dengan larangan membuat berhala: “Jangan membuat bagimu berhala yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.” (Keluaran 20:4)

Yahweh

Ketika Musa ditampakkan kehadiran Tuhan di Gunung Sinai dan memohon nama-Nya, “Firman Tuhan kepada Musa, ‘Akulah Aku. Beginilah kau katakan kepada orang-orang Israel itu: Akulah Aku telah mengutus aku kepadamu’” (Keluaran 3:14). Bahasa Ibrani kuno ditulis dalam huruf konsonan (huruf vokal ditambahkan belakangan). Dari empat huruf konsonan bahasa Ibrani dalam frasa “Akulah Aku” (YHWH), muncul Yahweh, yang juga dikenal sebagai Tetragrammaton, atau nama Tuhan yang sakral.

Dalam bahasa Ibrani, ehyeh asher ehyeh adalah bentuk tunggal orang pertama dari kata kerja “menjadi” (to be). Salah satu cara memahami makna dari nama ini adalah dengan menghubungkannya dengan kata kerja tindakan. Yaitu dia (Tuhan) yang bertindak, terutama dengan cara mengintervensi dunia makhluk-Nya dalam beberapa kali kesempatan. Kata “Akulah” (I am) juga menunjukkan kemandirian, (Tuhan) bertindak sendiri sebagai pencipta dan tidak bergantung pada kekuatan lain.

NAMA YAHWEH KEMUNGKINAN SUDAH ADA JAUH SEBELUM KISAH MUSA.

Namun, nama Yahweh sendiri sudah disebutkan dalam sebuah inskripsi yang lebih awal di Mesir untuk memperingati kemenangan Firaun Amenhotep III (sekitar 1400 SM), yang menyebutkan, "musuh dari tanah Shasu-nya Yahweh." Shasu adalah sebuah kelompok pengembara yang kemungkinan merupakan cikal bakal bangsa Israel. Sebagai tuhan dari kelompok pengembara ini, nama Yahweh kemungkinan sudah ada jauh sebelum kisah Musa. Prasasti dari abad ke-9 SM yang dibuat oleh raja Moab, Mesha, menyatakan bahwa dia berhasil mengalahkan raja Israel dan mengambil bejana-bejana milik Yahweh.

Yerusalem & Bait Pemujaan

Kitab Yosua dan Kitab Hakim-hakim menceritakan masa di mana bangsa Israel merupakan konfederasi suku-suku dari 12 keturunan Yakub selama Zaman Besi (1200-600 SM). Musa meletakkan loh-loh hukum dalam peti kayu Tabut Perjanjian selama bertahun-tahun di sebuah kemah suci yang dapat dipindah-pindah (portabel). Untuk menghindari kecemburuan dan dominasi di antara suku, situs-situs pemujaan dari berbagai suku menjaga kemah suci secara bergiliran.

Raja Salomo (970-931 SM) membangun bait (temple) pertama di Yerusalem, sebuah wilayah yang ditaklukkan oleh ayahnya, Raja Daud. Raja Yosia (640-609 SM) tercatat sebagai yang mereformasi ajaran dengan menghapus ritual-ritual lokal dan memusatkan pemujaan hanya di bait ini dan hanya pada Yahweh. Beberapa ahli berpendapat bahwa di saat inilah Kitab Ulangan 6 dimasukkan, yang kemudian menjadi doa utama dalam Yudaisme (dikenal sebagai Shema Yisrael), “Dengarlah, hai orang Israel: Yahweh adalah Tuhan kita, Yahweh itu esa.”

Solomon's Temple, Jerusalem
Bait Salomo, Yerusalem
Unknown Artist (Public Domain)

Tabut Perjanjian kemudian dipindahkan ke Ruangan Maha Suci, tempat suci terdalam di dalam bait. Musa difirmankan: “Dan di sanalah Aku akan bertemu dengan engkau dan dari atas tutup pendamaian itu, dari antara kedua kerub yang di atas tabut hukum itu, Aku akan berbicara dengan engkau tentang segala sesuatu yang akan Kuperintahkan kepadamu untuk disampaikan kepada orang Israel.” (Keluaran 25:22). Tabut Perjanjian mewakili kehadiran Tuhan di dalam bait (sebagai tahta atau sandaran kaki-Nya). Kehadiran Tuhan inilah yang menjadikan bait sebagai tempat suci. Oleh karenanya diperlukan aturan kesucian khusus dalam Kitab Imamat bagi siapapun yang mendekati bait.

Wujud & Sifat

Tuhan Israel digambarkan sebagai anikonik, tidak dilukiskan dalam bentuk patung atau gambar lainnya. Namun hal itu tidak mengesampingkan analogi-analogi simbolik atau literer. Faktanya, banyak gambaran awal tentang Yahweh, terutama di Israel Utara, mengaitkan Yahweh dengan lembu jantan (anak lembu emas Yerobeam dalam Kitab 1 Raja-raja), yang merupakan simbol kesuburan.

Dalam Kejadian 1:26-27 disebutkan:

Berfirmanlah Tuhan, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi. Maka Tuhan menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Tuhan diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.”

Penafsiran yang lebih modern untuk bagian ini adalah dengan menghubungkan kata "gambar" dengan fungsi. Sebagaimana Tuhanlah yang mengatur seluruh makhluk, laki-laki dan perempuan ditugaskan menjadi hamba yang menggantikan fungsi Tuhan untuk merawat bumi. Menilik pada konstruksi sosial tentang gender dan peran gender di masa kuno, Tuhan Israel selalu digambarkan sebagai laki-laki. Selain itu, masih banyak gambaran antromorfik yang menjelaskan wujud Tuhan, seperti wajah atau tangan Tuhan.

God Creating the Sun, Moon & Planets, Sistine Chapel
Tuhan Menciptakan Matahari, Bulan & Planet-planet, Kapel Sistina
Michelangelo (Public Domain)

Alih-alih menggunakan penggambaran secara harfiah, deskripsi yang umum digunakan untuk Tuhan adalah Maha Kuasa (Omnipotent), Maha Mengetahui (Omniscient), dan Maha Hadir (Omnipresent). Konsep terakhir selaras dengan gagasan transendensi, yaitu kemampuan Tuhan untuk melampaui wilayah spasial alam semesta yang diketahui. Imanensi juga konsep yang dipakai untuk menerangkan kemampuan Tuhan Israel yang pada waktu-waktu tertentu dapat mewujudkan diri-Nya di bumi untuk berbagai kepentingan, entah untuk menyelamatkan atau menghukum umat-Nya. Tuhan menggunakan para nabi untuk mendesak pertobatan setiap kali umat-Nya berdosa atau membangkang pada perintah.

Yudaisme Helenistik

Setelah Aleksander Agung melakukan penaklukkannya (Aleksander sendiri memerintah tahun 336-323 SM), kebudayaan, pemerintahan, dan agama Yunani disebarkan ke wilayah Mediteranian Timur. Orang Yahudi terdidik dapat mengikuti berbagai sekolah filsafat Yunani. Para filsuf mempopulerkan konsep tuhan tertinggi yang melampaui parameter alam fisik dengan memanfaatkan fasilitas literer yaitu alegori dan metafora. Tuhan diajarkan sebagai esensi murni yang baik, keberadaan yang tidak menciptakan tapi memancarkan kekuatan-kekuatan yang lebih rendah yang akhirnya menyebabkan penciptaan. Tuhan sebagai keesaan tertinggi ini terjalin dalam seluruh alam semesta. Tuhan hadir dalam alam, meterialitas, dan melalui konsep jiwa hadir dalam manusia. Interkoneksi ini dicapai melalui pancaran (emanasi) aspek tuhan yaitu logos (“rasionalitas,” kadang diterjemahkan juga sebagai “kata”).

Seorang filsuf Yahudi, Filo dari Aleksandria (yang menulis pada dekade-dekade awal abad pertama Masehi), dia menghadirkan Yudaisme dengan terang prinsip-prinsip filsafat Yunani, mengklaim bahwa tuhan yang tertinggi tadi adalah Tuhan Israel. Melalui alegori, dia menjelaskan bahwa Musa dapat dipahami sebagai logos yang menyediakan sistem atau akal dan rasionalitas melalui Hukum Musa.

Kekristenan: Tuhan Kedua

Pada dekade 20-30an abad pertama Masehi, Yesus dari Nazaret dalam bentuk seorang nabi tradisional, mulai mewartakan kerajaan Tuhan yang akan segera tiba di bumi. Menyatakan adanya sebuah kerajaan yang bukan bagian dari Roma, dia dieksekusi dengan cara disalib (hukuman bagi pengkhianatan) oleh prokurator Roma yang bernama Pontius Pilatus. Setelah sidang dan penyaliban Yesus, para pengikutnya mengklaim bahwa Yesus bangkit dari kematian dan diangkat ke sisi Tuhan di surga (Kisah Para Rasul 7).

Crucifixion by Giovanni Bellini
Penyaliban, karya Giovani Bellini
Web Gallery of Art (Public Domain)

Litaratur paling awal yang menjelaskan cikal bakal Kekristenan ditemukan dalam surat-surat Paulus sang Rasul (tahun 50-60an M). Paulus adalah seorang Yahudi Farisi yang menerima penglihatan Kristus di surga (Christos adalah bahasa Yunani untuk Almasih). Dia mengklaim dirinya diberi tugas menjadi rasul (utusan) kepada kaum non-Yahudi. Menurut ajaran para nabi, ketika Tuhan mendirikan kerajaan-Nya di bumi, kaum non-Yahudi dapat bergabung dengan Israel. Non-Yahudi tidak perlu memiliki ciri-ciri yang khas Yahudi (sunat, pantangan makanan, atau pemeliharaan hari Sabat), namun, para pengikut Paulus harus menghentikan ritual pengorbanan kepada tuhan-tuhan tradisional. Tahap ini belum bisa dikatakan sebagai monoteisme. Paulus mengakui keberadaan tuhan-tuhan lain; bila dia mengecam penganut tuhan-tuhan itu, itu karena kadang mereka mengganggu misinya. Yang jelas, ritual pengorbanan kepada tuhan-tuhan lain tidak lagi dianggap sah menurut konsep keselamatan Paulus.

Paulus memperkenalkan inovasi dalam tradisi Yahudi. Kristus dianggap telah eksis sebelumnya dan hadir bersama Tuhan sejak penciptaan. Kristus merendahkan diri-Nya untuk tampil sebagai manusia di bumi dan mati sebagai pengorbanan untuk menebus dosa Adam yang telah membawa kematian ke dunia (Roma 5). Dia “diberi nama tertinggi di atas segala nama” (Tetragramaton, Yahweh). Setiap disebut nama Kristus, “setiap lutut akan bertekuk,” sebuah konsep kuno di mana orang bersujud di hadapan gambar-gambar tuhan (Filipi 2). Paulus menggunakan konsep Yahudi bahwa Tuhan tidak mementingkan diri sendiri; diri Tuhan mewujud dalam diri Yesus yang hadir di dunia. Inilah alasan mengapa Yesus layak disembah. Bagian pendahuluan dalam Injil Yohanes menggunakan konsep logos ilahi, yang kemudian menjadi doktrin inkarnasi (Kristus yang mewujud manusia).

Pemisahan Kekristenan dari Yudaisme terjadi pada abad ke-2 M, melalui andil para pemimpin Kristen yang tidak lagi memiliki hubungan etnis dengan Yudaisme. Mereka mempertahankan konsep Tuhan dalam tradisi Kitab Suci, dan menggabungkannya dengan konsep tuhan tertiggi dari filsafat. Pada saat itu terjadi, orang-orang Kristen dianiaya oleh Roma karena menolak untuk berpartisipasi dalam kultus kenegaraan dan kekaisaran. Julius Caesar (100-44 SM) sebelumnya telah memberikan pengecualian kepada orang-orang Yahudi (agar dibolehkan tidak berpartisipasi). Orang-orang Kristen mengajukan petisi kepada para petinggi dan kaisar Romawi agar diberi pengecualian yang sama karena mereka adalah verus Israel (Yahudi Sejati) dalam perjanjian Tuhan. Menggunakan alegori, para Bapa Gereja “membuktikan” bahwa dalam semua sejarah dan kisah Israel (Kitab Suci) terdapat semacam indikasi adanya Kristus yang sudah ada sebelumnya (pre-existence Christ). Yang membedakan orang Kristen dan orang Yahudi adalah bahwa orang Kristen tidak lagi berpegang pada Hukum Musa secara harfiah. Tuhan telah menetapkan perjanjian baru dengan umat-Nya untuk menggulingkan praktik-praktik tradisional. Pada saat yang sama, bersamaan dengan pelarangan terhadap segala bentuk penyembahan berhala, Kekristenan memisahkan diri dari budaya dominan.

Trinitas

Kekristenan awal mengalami serangkaian perdebatan dan konflik yang berkelanjutan terkait cara mengungkapkan keesaan Tuhan, antara mengakui keilahian dan penyembahan terhadap Kristus. Seorang presbiter (penatua/penjabat di gereja Kristen yang bertugas sebagai penatalayanan) di Aleksandria bernama Arius mengajarkan bahwa jika seseorang percaya bahwa segala sesuatu di alam diciptakan oleh Tuhan Israel, maka pada titik tertentu Tuhan juga yang telah menciptakan Kristus. Ini membuat Kristus dianggap sebagai makhluk, hamba yang tunduk pada Tuhan. Ajaran ini memicu kerusuhan di beberapa kota. Konstantinus I (memerintah 306-337 M) kemudian menyerukan diadakannya Konsili Nikea Pertama pada tahun 325 M. Dalam upaya mempertahankan tradisi Yahudi yang menyembah hanya kepada satu Tuhan, orang Kristen mengembangkan konsep yang dikenal sebagai Trinitas. Sebuah konsep yang menggambarkan hubungan antara Tuhan dan Kristus, asal-usul Kristus, serta suatu esensi yang dikenal sebagai Roh Kudus.

Holy Trinity
Trinitas Suci
Fr Lawrence Lew, O.P. (CC BY-NC-ND)

Perdebatan ini bermuara pada dua pilihan: apakah Kristus adalah homo-iousios, sebuah esensi yang mirip dengan Bapaknya, ataukah homo-ousios, sebuah substansi yang sama dengan Bapaknya? (perhatikan perbedaan kedua kata latin hanya terletak pada huruf "i"-sebuah iota). Konsili memilih pilihan kedua, yaitu bahwa Tuhan dan Kristus identik dalam esensi (substansi), dan bahwa Kristus adalah manifestasi Tuhan sendiri di bumi. Saat para Uskup hadir, Konstantinus meminta mereka merumuskan apa yang kemudian dikenal sebagai Kredo Nikea (Kredo berarti “Aku percaya”). Hal ini adalah sebuah inovasi; pada era kuno, tidak ada otoritas pusat yang menentukan apa yang harus dipercaya oleh semua orang. Sebagai kepala negara sekaligus kepala Gereja, Konstantinus kini memiliki wewenang untuk mewajibkan Kredo bagi semua orang Kristen. Dalam sistem di mana pengorbanan dan ritual tradisional telah ditinggalkan, keyakinan (iman kesetiaan) menjadi konsep yang sangat penting.

Dalam Yudaisme tradisional, “roh Tuhan” dipahami sebagai cara Tuhan memberikan kuasa kepada individu dan tindakan, seperti roh yang menciptakan Adam serta Tuhan yang “merasuki” para nabi. Sejak awal gerakan Kristen, para penganut mengalami kuasa tersebut sebagai pemberian Tuhan: kemampuan para nabi untuk bernubuat, mengajar, berbicara, menyembuhkan, dan membangkitkan orang mati. Kredo menyatakan Tuhan sebagai satu (esa), tapi dengan tiga aspek: Tuhan sebagai Bapa, Kristus sebagai Putra, dan Roh Kudus.

Tuhan dalam Islam

Islam muncul sebagai gerakan reformasi dari Yudaisme sekaligus Kekristenan melalui wahyu-wahyu (Al-Quran) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad di Semenanjung Arab pada abad ke-6 M. Kata berbahasa Arab “Allah” kemungkinan besar berasal dari kata “Al-Ilah,” yang berarti Tuhan. Kata ini terkait dengan kata “El-Ilah” yang memiliki arti sesembahan; awalan Al membedakan sesembahan tersebut dari sesembahan lainnya. Al-Quran yang dianggap suci merupakan susunan belakangan dari penulisan wahyu-wahyu tersebut.

Konsep utama tentang Allah adalah tauhid, yang berarti “keesaan.” Hal ini dinyatakan dalam rukun Islam dengan syahadat, yang menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah nabi-Nya. “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan serta tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.” (Q.S. 112:4). Segala konsep atau aktivitas yang mendekati penyembahan berhala disebut syirik (mempersekutukan). Tidak ada kependetaan resmi dalam Islam, karena tidak ada konsep manusia yang memperantarai hubungan antara Tuhan dengan manusia. Imam adalah pembimbing spiritual dalam komunitas. Islam mempertahankan konsep keberadaan para malaikat sebagai utusan Tuhan, dan Islam menghormati para rasul dan nabi, dengan Muhammad sebagai nabi terakhir.

Meskipun menggunakan prinsip-prinsip maskulin dalam bahasa Arab, Tuhan tidak memiliki bagian-bagian tubuh yang fisik ataupun gender, dan Tuhan melampaui segalanya: “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. 42:11). Konsep Qadim (“purba”) mengimplikasikan keabadian tanpa awal dan tanpa akhir; batasan dan ukuran normal tidak dapat diterapkan pada Tuhan. Oleh karenanya, larangan untuk mendeskripsikan Tuhan secara antromorfik, menyembah berhala dan gambar tetap dipertahankan; itu semua adalah upaya yang tidak utuh untuk menggambarkan sesuatu yang benar-benar utuh dan unik. Sebagai sumber keberadaan yang ultima, Allah adalah sebab tanpa sebab, yang menciptakan segalanya dari ketiadaan, yang sempurna dan tidak berubah. Sifat Allah yang paling populer adalah “Maha Pengasih” dan “Maha Penyayang.” Seperti dalam Yudaisme dan Kekristenan, Islam mempromosikan konsep kerajaan Allah di bumi di masa depan dan sebuah pengadilan akhir.

Sisihkan pariwara
Advertensi

Daftar Pustaka

Ensiklopedia Sejarah Dunia adalah Rekanan Amazon dan mendapatkan komisi atas pembelian buku yang memenuhi syarat.

Tentang Penerjemah

Hafizh Al Kapid
Seorang penerjemah yang menyukai cerita-cerita lucu.

Tentang Penulis

Rebecca Denova
Rebecca I. Denova, Ph.D. adalah Guru Besar Emeritus mengenai Kekristenan Awal di Departemen Studi Agama, Universitas Pittsburgh. Belum lama ini beliau telah merampungkan sebuah buku, "The Origins of Christianity and the New Testament" (Wiley-Blackwell)

Kutip Karya Ini

Gaya APA

Denova, R. (2022, November 15). Tuhan [God]. (H. A. Kapid, Penerjemah). World History Encyclopedia. Diambil dari https://www.worldhistory.org/trans/id/1-10299/tuhan/

Gaya Chicago

Denova, Rebecca. "Tuhan." Diterjemahkan oleh Hafizh Al Kapid. World History Encyclopedia. Terakhir diubah November 15, 2022. https://www.worldhistory.org/trans/id/1-10299/tuhan/.

Gaya MLA

Denova, Rebecca. "Tuhan." Diterjemahkan oleh Hafizh Al Kapid. World History Encyclopedia. World History Encyclopedia, 15 Nov 2022. Web. 15 Jan 2025.