Perpustakaan Alexandria

8 hari tersisa

Berinvestasi dalam Pendidikan Sejarah

Dengan mendukung badan amal kami, World History Foundation, Anda berinvestasi untuk masa depan pendidikan sejarah. Donasi Anda membantu kami memberdayakan generasi penerus dengan pengetahuan dan keterampilan yang mereka butuhkan untuk memahami dunia di sekitar mereka. Bantu kami memulai tahun baru dengan siap mempublikasikan informasi sejarah yang lebih andal, gratis untuk semua orang.
$3432 / $10000

Ikhtisar

Joshua J. Mark
dengan , diterjemahkan dengan Hendri Elvira
diterbitkan pada 25 Juli 2023
Dengarkan artikel ini
X
Artikel Cetak
Ancient Library (by Mohawk Games, Copyright)
Ilustrasi Perpustakaan Kuno
Mohawk Games (Copyright)

Perpustakaan Alexandria didirikan di bawah Dinasti Ptolemaik Mesir (323-30 SM) dan berkembang di bawah dukungan para penguasa awal dinasti ini hingga menjadi perpustakaan paling terkenal di dunia kuno, yang menarik para cendekiawan dari seluruh Mediterania, dan menjadikan Alexandria sebagai pusat intelektual terkemuka pada masanya hingga kemundurannya setelah tahun 145 SM.

Meskipun legenda mengatakan bahwa gagasan tentang perpustakaan besar ini berasal dari Alexander yang Agung, namun hal ini telah dibantah dan tampaknya diusulkan oleh Ptolemy I Soter (bertakhta pada tahun 323-282 SM), yang mana ia adalah pendiri Dinasti Ptolemaik, dan dibangun pada masa kekuasaan Ptolemy II Philadelphus (282-246 SM), yang juga mengumpulkan buku-buku pertama untuk koleksi perpustakaan. Di bawah kekuasaan Ptolemy III Euergetes (bertakhta pada tahun 246-221 SM), jumlah koleksi perpustakaan meningkat karena buku-buku diambil dari kapal-kapal di pelabuhan untuk disalin dan yang asli kemudian disimpan di dalam rak buku.

Sisihkan pariwara
Advertensi

Di bawah masa kekuasaan Ptolemy IV (bertakhta pada tahun 221-205 SM) dukungan terus berlanjut, kemudian Ptolemy V (bertakhta pada tahun 204-180 SM) dan Ptolemy VI (bertakhta pada tahun 180-164 & 163-145 SM) melakukan akuisisi untuk perpustakaan sebagai prioritas utama di sekitar wilayah Mediterania sehingga para cendekiawan mulai menyembunyikan perpustakaan pribadi mereka untuk menghindari penyitaan. Ptolemy V, untuk melemahkan pamor Perpustakaan Pergamon, melarang ekspor papirus (alang-alang air yang tumbuh di Eropa Selatan dan Afrika Utara) yang diperlukan untuk memproduksi salinan buku, dan secara tidak sengaja mendorong industri perkamen (alat tulis pengganti kertas yang terbuat dari kulit binatang) di Pergamon.

PENJELASAN YANG PALING MUNGKIN UNTUK KEJATUHAN PERPUSTAKAAN ALEXANDRIA ADALAH HILANGNYA DUKUNGAN.

Nasib akhir Perpustakaan Alexandria telah diperdebatkan selama berabad-abad dan terus berlanjut. Menurut klaim yang paling populer, perpustakaan ini dihancurkan oleh Julius Caesar dengan api pada tahun 48 SM. Klaim lain menyebutkan bahwa perpustakaan ini dihancurkan oleh kaisar Aurelianus dalam perangnya melawan Zenobia pada tahun 272 SM, oleh Diokletianus pada tahun 297 SM, oleh umat Kristen fanatik pada tahun 391 dan 415 SM, atau oleh para penyerang Muslim Arab pada abad ke-7.

Sisihkan pariwara
Advertensi

Karena perpustakaan ini masih ada setelah zaman Julius Caesar dan disebutkan selama era Kristen awal, penjelasan yang paling mungkin untuk keruntuhannya adalah hilangnya dukungan dari para penguasa Ptolemaik di kemudian hari (setelah Ptolemy VIII mengusir cendekiawan asing pada tahun 145 SM) dan dukungan yang tidak merata dari para kaisar Romawi yang mengarah pada penurunan pemeliharaan koleksi dan bangunan. Intoleransi agama, menyusul kebangkitan agama Kristen, menyebabkan perang saudara, yang mendorong banyak cendekiawan untuk mencari posisi di tempat lain, yang selanjutnya berdampak pada kemunduran perpustakaan. Pada abad ke-7 kaum Muslim Arab dikatakan telah membakar koleksi perpustakaan, tetapi tidak ada bukti bahwa buku-buku itu atau bahkan bangunan yang seharusnya menjadi tempat penyimpanannya, masih ada di Alexandria.

Pendirian Perpustakaan

Setelah kematian Alexander yang Agung pada tahun 323 SM, Ptolemy I (penerus Alexander) mengambil alih Mesir selama Perang Diadochi dan mendirikan dinastinya. Dia tampaknya telah mengusulkan perpustakaan sebagai lanjutan dari visinya secara keseluruhan untuk kota Alexandria sebagai tempat peleburan yang besar, memadukan budaya Mesir dan Yunani, seperti yang dilambangkan oleh dewa hibrida Serapisnya, yang mana dewa itu adalah kombinasi dari dewa Mesir dan Yunani. Menurut Surat Aristeas, yang ditulis antara tahun 180 dan 145 SM, gagasan untuk perpustakaan itu disarankan oleh orator Yunani, Demetrius dari Phalerum (hidup sekitar tahun 350 hingga 280 SM) yang mana ia adalah murid dari Aristoteles (hidup sekitar tahun 384-322 SM) atau murid Aristoteles lainnya, Theophrastus (hidup sekitar tahun 371 hingga 287 SM) meskipun keaslian surat ini masih diperdebatkan.

Sisihkan pariwara
Advertensi

Ptolemy II Philadelphus Founds the Library of Alexandria
Ilustrasi Ptolemy II Philadelphus yang Mendirikan Perpustakaan Alexandria
Vincenzo Camuccini (Public Domain)

Namun, jika Demetrius memang mengusulkan gagasan tentang perpustakaan universal (perpustakaan dengan koleksi universal yang mencakup berbagai budaya, bahasa, dan disiplin ilmu), maka hal itu akan dengan mudah menjelaskan deskripsi bangunan yang tampaknya mencerminkan sekolah Lyceum, Aristoteles, khususnya deretan pilar di mana para cendekiawan dapat berjalan dan mendiskusikan berbagai isu meskipun deretan tiang itu tidak secara spesifik merujuk pada sekolah tersebut. Demetrius juga dikatakan telah mempersiapkan perpustakaan sebagai tempat penyimpanan bagi setiap buku yang pernah ditulis dan mengusulkan nama Mouseion, yang terinspirasi dari kuil untuk Sembilan Muse (dewi-dewi yang melambangkan seni, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam mitologi Yunani) karena setidaknya nantinya akan terdapat satu bagian dari perpustakaan yang dinamai Mouseion (nama yang kemudian menjadi asal kata "museum" dalam bahasa Inggris). Sebagai jawaban atas pertanyaan, "Mengapa perpustakaan universal dibangun di kota Alexandria yang relatif baru?", cendekiawan Lionel Casson menulis:

Mesir jauh lebih kaya daripada negeri-negeri saingan mereka. Pertama, tanah yang subur di sepanjang Sungai Nil menghasilkan panen biji-bijian yang melimpah, dan biji-bijian bagi wilayah Yunani dan Romawi seperti halnya minyak bagi kita: biji-bijian menguasai pasar di mana-mana. Di sisi lain, Mesir merupakan habitat yang sangat baik bagi tanaman papirus sehingga menjamin para penguasanya untuk memonopoli bahan tulisan utama di dunia. Semua raja Helenistik berusaha menghiasi ibu kota mereka dengan arsitektur yang megah dan membangun reputasi budaya. Keturunan Ptolemaiklah, yang mampu menghabiskan lebih banyak uang daripada yang lain, dan memimpin pembangunan itu. Empat anggota pertama dinasti ini berkonsentrasi pada reputasi budaya Alexandria, dan mereka juga merupakan para intelektual. Ptolemy I adalah seorang sejarawan, penulis catatan otoritatif tentang perang sang penakhluk Alexander... Ptolemy II adalah seorang ahli zoologi yang sangat antusias, Ptolemy III, seorang pendukung kesusastraan, Ptolemy IV adalah seorang dramawan (penulis cerita drama). Mereka semua memilih cendekiawan dan ilmuwan terkemuka sebagai guru bagi anak-anak mereka. Tidak mengherankan jika ke-4 pria ini berusaha menjadikan ibu kota mereka sebagai pusat budaya wilayah Yunani. (32-33)

Kepala Pustakawan & Organisasi

Kompleks institusi intelektual Mouseion dan Perpustakaan Kerajaan, dibangun pada masa pemerintahan Ptolemy II, dan pustakawan pertamanya adalah cendekiawan Zenodotus (hidup pada abad ke-3 SM). Kepala pustakawan yang menggantikannya selama Periode Ptolemaik, secara berurutan adalah sebagai berikut:

  • Apollonius dari Rhodes (hidup pada abad ke-3 SM)
  • Eratosthenes (hidup sekitar tahun 276-195 SM)
  • Aristophanes dari Byzantium (hidup sekitar tahun 257 hingga 180 SM)
  • Apollonius "pembuat bentuk" (tanggal tidak diketahui)
  • Aristarchus dari Samothrace (hidup sekitar tahun 216 hingga 145 SM)

Meskipun sering disebut sebagai seorang pustakawan di Alexandria, Callimachus dari Cyrene (hidup sekitar tahun 310 hingga 240 SM) tidak pernah menduduki posisi itu. Namun, ia bertanggung jawab untuk mengembangkan sistem bibliografi awal Zenodotus menjadi apa yang saat ini disebut sebagai 'katalog kartu' dari koleksi perpustakaan. Pinakes karya Callimachus ( dalam "tablet" yang terbuat dari lempengan tanah liat – judul lengkapnya: Tabel Orang-Orang Terkemuka dalam Setiap Cabang Ilmu Pengetahuan Bersama dengan Daftar Karya Tulisan Mereka) adalah sebuah survei dan katalog komprehensif dari semua karya dalam bahasa Yunani yang masih ada, yang berisi 120 buku dan menciptakan paradigma (contoh) untuk sistem organisasi perpustakaan ke depannya. Casson menulis:

Sisihkan pariwara
Advertensi

Apa yang membuat proyek semacam itu menjadi mungkin adalah karena keberadaan perpustakaan Alexandria, yang mana di rak-rak tersebut terdapat semua tulisan ini, kecualian karya yang langka, dapat ditemukan. Dan ada kesepakatan umum bahwa kompilasi ini akan berkembang dan menjadi perluasan dari daftar rak koleksi perpustakaan yang telah disusun oleh Callimachus. Sistem dalam karya Pinakes tidak bertahan; namun, kita memiliki cukup banyak referensi dan kutipan darinya dalam karya-karya ilmiah abad-abad berikutnya untuk memberikan gambaran yang adil tentang sifat dan cakupannya. (39)

Karya-karya yang dikatalogkan oleh Callimachus tidak disimpan dalam satu bangunan, melainkan dalam sebuah kompleks bangunan di kawasan istana (Bruchion) di distrik Yunani di kota itu. Kompleks perpustakaan ini tampaknya menyerupai universitas modern dengan asrama, ruang makan bersama, ruang kelas untuk pengajaran, ruang baca, rak perpustakaan, laboratorium, observatorium, skriptorium, ruang kuliah, taman dengan desain alam, dan mungkin juga kebun binatang. Selama Periode Ptolemaik, hanya cendekiawan laki-laki yang mendapat dukungan untuk tinggal di perpustakaan dengan fasilitas kamar dan makan gratis; tidak jelas apakah cendekiawan perempuan meskipun tidak diizinkan tinggal di sana, dapat menggunakan sumber daya perpustakaan, yang konon mencakup 500.000 karya tentang berbagai topik yang pernah ditulis oleh siapa pun.

Hypatia and Theon of Alexandria
Ilustrasi Hypatia dan Theon dari Alexandria
Mod Producciones, Telecinco Cinema (Copyright, fair use)

Pelaksanaan & Akuisisi di Bawah Masa Kekuasaan Dinasti Ptolemaik

Jumlah buku yang dimiliki perpustakaan dan siapa saja yang dapat mengaksesnya, seperti kebanyakan informasi yang berkaitan dengan Perpustakaan Besar Alexandria, tidaklah jelas. Angka 500.000 adalah yang paling sering dikatakan, tetapi ini mungkin terlalu berlebihan. Casson, yang kurang lebih setuju dengan angka tersebut, berkomentar:

Jumlah gulungan naskah di perpustakaan utama berjumlah 490.000, di "cabang perpustakaan" berjumlah 42.800. Ini tidak memberi tahu kita tentang jumlah karya atau penulis yang diwakili karena banyak gulungan naskah yang memuat lebih dari satu karya dan banyak, seperti dalam kasus Homer, yang karyanya memiliki banyak duplikat. Demikian pula, kita tidak tahu apa pembagian fungsi antara kedua perpustakaan tersebut. Perpustakaan utama, yang terletak di istana, pada dasarnya harus digunakan oleh para anggota Museum. Perpustakaan lainnya, yang terletak di tempat suci keagamaan dengan akses yang kurang lebih tidak terbatas, mungkin melayani kelompok pembaca yang lebih luas. Mungkin itulah sebabnya mengapa koleksi yang dimiliki jauh lebih kecil: karya-karyanya terbatas, seperti karya-karya sastra klasik dasar, yang kemungkinan besar akan dibaca oleh masyarakat umum. (36)

Perpustakaan ini, yang dimulai pada masa Ptolemy I, didanai oleh keluarga kerajaan. Para cendekiawan, ilmuwan, penyair, kritikus sastra, penulis, penyalin, ahli bahasa, dan lainnya yang diterima sebagai anggota Mouseion tinggal di sana tanpa pajak, tanpa sewa, dan disediakan makanan serta gaji. Tujuan dari dukungan ini adalah untuk memungkinkan para pemikir terbaik pada masa itu, terbebas dari gangguan kehidupan sehari-hari, untuk mengabdikan diri mereka untuk studi, penulisan, dan pengajaran. Setiap cendekiawan yang ditempatkan di Mouseion diharapkan untuk mengajar dalam beberapa kapasitas dan memberikan kuliah; meskipun tepatnya siapa yang diizinkan untuk mengambil kelas atau menghadiri kuliah tidak jelas.

Sisihkan pariwara
Advertensi

Kepala pustakawan ditunjuk oleh anggota keluarga kerajaan dan bertugas seumur hidup. Selama Periode Ptolemaik, setiap kepala pustakawan adalah seorang cendekiawan terkemuka yang telah memberikan kontribusi orisinal pada bidang pengetahuannya. Dalam kasus Zenodotus, dia adalah orang pertama yang membuat versi otoritatif dari karya-karya Homer dan juga orang pertama yang menerapkan sistem organisasi berdasarkan abjad pada koleksi perpustakaan. Apollonius dari Rhodes terkenal dengan puisi epiknya, Argonautica, tentang Jason dan para Argonaut (sekelompok pahlawan Yunani yang terkenal karena perjalanannya mencari Bulu Emas). Eratosthenes adalah orang pertama yang menghitung keliling bumi dan membuat peta dunia yang dikenal luas.

Euclid of Alexandria
Ilustrasi Euclid dari Alexandria
Unknown Artist (Public Domain)

Selain para pustakawan, ada juga para cendekiawan terkenal yang tinggal dan bekerja di sana, termasuk matematikawan Euclid (hidup sekitar tahun 300 SM), ahli anatomi Herophilus, penemu dan insinyur Archimedes dari Syracuse (hidup sekitar tahun 287-212 SM), fisikawan Strato, ahli tata bahasa Dionysius Thrax, dan penulis serta penyair inovatif Istros sang Callimachean (murid Callimachus), dan masih banyak lagi yang lainnya. Para cendekiawan ini menciptakan karya-karya mereka sendiri dan memiliki ribuan karya lainnya sebagai referensi yang dapat diakses, berkat kebijakan akuisisi Dinasti Ptolemaik. Casson berkomentar:

Kebijakannya adalah untuk mendapatkan semuanya, mulai dari puisi epik yang mengagungkan hingga buku-buku resep yang membosankan; para keturunan Dinasti Ptolemaik memiliki tujuan untuk membuat koleksi tersebut menjadi tempat penyimpanan yang komprehensif untuk tulisan-tulisan Yunani serta alat untuk penelitian. Mereka juga menyertakan terjemahan dalam bahasa Yunani dari karya-karya penting dalam bahasa-bahasa lain. Contoh yang paling terkenal adalah Kitab Septuaginta, versi bahasa Yunani dari Perjanjian Lama. Tujuan utamanya adalah untuk melayani komunitas Yahudi, yang banyak di antaranya hanya bisa berbahasa Yunani dan tidak bisa lagi memahami bahasa Ibrani atau Aramaik asli, tetapi usaha ini didorong oleh Ptolemy II, yang tanpa ragu menginginkan karya tersebut ada di perpustakaan. (35-36)

Untuk mendapatkan koleksi perpustakaan, agen-agen buku dikirim untuk membeli karya-karya yang dapat mereka temukan. Buku-buku disita dari kapal-kapal yang bersandar di pelabuhan Alexandria, disalin, dan yang asli disimpan di perpustakaan; kemudian salinannyalah yang diberikan kepada para pemiliknya. Karya-karya yang lebih tua adalah yang paling diincar dengan alasan belum banyak disalin sehingga lebih sedikit mengandung kesalahan penulisan. Menurut Casson, hal ini menciptakan industri pasar gelap baru: memalsukan salinan "lama" untuk dijual dengan harga tinggi (35). Karya-karya terkenal juga berharga mahal. Ptolemy III dikatakan telah membayar uang jaminan selangit sebesar 15 talenta (alat penukaran yang digunakan pada zaman Yunani atau Romawi Kuno) atau sekitar 15 juta dolar atau lebih ke Athena untuk meminjam naskah asli Aeschylus, Euripides, dan Sophocles untuk disalin, dan berjanji akan mengembalikannya. Setelah naskah-naskah tersebut disalin di atas papirus berkualitas tinggi, ia mengirim salinannya ke Athena, menyimpan naskah aslinya, dan memberi tahu orang-orang Athena bahwa mereka dapat menyimpan uangnya.

Kebijakan akuisisi dari para keturunan Ptolemaik ini tercermin oleh raja-raja Dinasti Attalid (281-133 SM) yang membutuhkan buku untuk koleksi Perpustakaan Pergamon, yaitu saingan dari Perpustakaan Alexandria. Selama masa pemerintahan Kerajaan Attalid, raja Eumenes II (bertakhta pada tahun 197-159 SM), Ptolemy V melarang ekspor papirus untuk mencegah Pergamon membuat salinan buku. Namun, hal ini justru memulai industri perkamen (alat tulis pengganti kertas yang dibuat dari kulit binatang) di Pergamon. Kata bahasa Inggris "parchment" sebenarnya berasal dari bahasa Latin pergamena yang berarti "kertas Pergamon" karena perkamen menggantikan papirus sebagai bahan tulisan.

Kemunduraan & Klaim Penghancuran

Perpustakaan Alexandria mulai mengalami kemunduran di bawah masa kekuasaan Ptolemy VIII (bertakhta pada tahun 170-163/145-116 SM), seorang cendekiawan yang telah menulis tentang Homer dan mendukung perlindungan perpustakaan, namun ia menarik dukungannya setelah perebutan kekuasaan dengan saudaranya Ptolemy VI, dan menghukum mereka yang berpihak pada lawannya, serta mengusir semua cendekiawan asing dari kota itu. Di antaranya adalah kepala pustakawan Aristarchus dari Samothrace yang melarikan diri ke Siprus pada tahun 145 SM dan meninggal tak lama kemudian. Dukungan dari Kerajaan Ptolemaik terhadap perpustakaan kemudian berkurang, dan posisi kepala perpustakaan tidak lagi diberikan kepada cendekiawan terkemuka, melainkan diberikan kepada kroni-kroni politik. Ada kemungkinan bahwa ketika mereka diusir dari Alexandria, para cendekiawan itu membawa buku-buku bersama mereka, tetapi, kalaupun tidak, teks-teks tersebut telah distandarisasi dan disalin pada saat itu dan pasti sudah ada di perpustakaan-perpustakaan pribadi dan dalam koleksi pusat-pusat intelektual lainnya seperti Athena dan Pergamon.

SELAMA PERIODE ROMAWI, DUKUNGAN TERHADAP PERPUSTAKAAN berjalan TIDAK MERATA bahkan ketika dalam situasi terbaik sekalipun.

Periode Ptolemaik berakhir dengan kematian Cleopatra VII pada tahun 30 SM dan selama Periode Romawi yang diikuti oleh dukungan terhadap perpustakaan yang berjalan tidak merata bahkan ketika dalam situasi terbaik sekalipun. Kaisar Romawi Claudius (bertakhta pada tahun 41-54) mendukung perpustakaan, seperti halnya Hadrian (bertakhta pada tahun 117-138), tetapi apakah ada kaisar lain yang melakukan hal yang sama? masih belum jelas. Pada tahun 272 ketika Aurelianus merebut kembali Alexandria dari Zenobia, yang telah mengklaimnya sebagai bagian dari Kekaisaran Palmyrene, distrik perpustakaan dihancurkan meskipun tidak diketahui apakah bangunan-bangunan yang dulunya menjadi perpustakaan masih ada. Pada tahun 297, kaisar Diokletianus juga meratakan bagian Alexandria tersebut dan, kemungkinan besar, ini adalah saat di mana apa pun yang tersisa dari perpustakaan dihancurkan. Namun, pada saat itu, seperti yang telah disebutkan, beasiswa Alexandria sudah tinggal kenangan. Apa pun karya besar yang telah dikerjakan di kota itu telah terjadi di tempat lain sejak sekitar tahun 145 SM.

Semua ini tampaknya pasti, namun hal itu tidak menghentikan para penulis untuk mengulangi klaim bahwa Perpustakaan Besar Alexandria, yang menyimpan semua pengetahuan dunia kuno, dibakar oleh Julius Caesar pada tahun 48 SM, oleh orang-orang Kristen pada tahun 391 (atau mungkin pada tahun 415 di saat waktu pembunuhan Hypatia dari Alexandria), atau oleh kaum Muslim pada abad ke-7. Apa pun yang dibakar dalam kebakaran yang dipicu oleh Julius Caesar pada tahun 48 SM, itu bukanlah perpustakaan karena institusi tersebut dirujuk oleh para penulis di kemudian hari. Mark Antony, menurut Plutarch, memberikan seluruh koleksi yang berjumlah 200.000 buku dari Perpustakaan Pergamon kepada Cleopatra VII pada tahun 43 SM untuk perpustakaan tersebut; jadi, jelas bahwa perpustakaan masih ada di Alexandria setelah kematian Julius Caesar pada tahun 44 SM. Augustus Caesar (bertakhta pada tahun 27 SM hingga 14 M) konon kemudian mengembalikan sebagian meski tidak semua, buku-buku tersebut ke Pergamon.

Pada tahun 391, Theophilus, Uskup dari Alexandria, mengawasi penghancuran Kuil Serapis, yang menjadi tempat penyimpanan sebagian koleksi perpustakaan, namun tidak diketahui apakah ada buku yang masih tersimpan di sana. Alexandria makin memusuhi jenis keilmuan inklusif yang didorong oleh perpustakaan tersebut sejak kebangkitan agama Kristen di kota itu setelah tahun 313. Pada tahun 391, kerusuhan sipil yang dipicu oleh intoleransi agama telah menjadi ciri khas kota ini. Tampaknya Serapeum (Kuil Serapis) dihancurkan pada masa ini, dan sebuah gereja dibangun di lokasi tersebut, namun tidak ada bukti penghancuran perpustakaan; mungkin karena perpustakaan tersebut telah dihancurkan oleh Aurelianus atau Diokletianus.

Serapeum of Alexandria
Lokasi Situs Serapeum Alexandria
Carole Raddato (CC BY-SA)

Klaim bahwa kaum Muslim Arab di bawah masa kepemimpinan Khalifah Umar menghancurkan perpustakaan pada tahun 641 sama sekali tidak dapat dipertahankan. Kisah terkenal tentang Umar, menceritakan bahwa ia yang memerintahkan pembakaran koleksi yang sangat banyak itu, dengan mengatakan bahwa jika karya-karya tersebut sesuai dengan Al-Qur’an, maka karya-karya tersebut tidak berguna (karena sudah diwakili oleh Al-Qur’an), dan jika bertentangan dengan Al-Qur’an, maka karya-karya tersebut adalah bid'ah (perbuatan atau cara yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasullalah saw), muncul 600 tahun kemudian dalam karya penulis Kristen, Gregory Bar Hebraeus (hidup pada tahun 1226-1286) yang diambil dari para penulis Muslim Arab abad ke-13 seperti Ibnu al-Qifti. Catatan ini telah ditolak oleh para cendekiawan sebagai fiksi sejak abad ke-18.

Kesimpulan

Klaim bahwa hilangnya Perpustakaan Alexandria dalam kebakaran besar telah mengubah pengetahuan dunia kuno menjadi asap dan menghambat perkembangan intelektual umat manusia selama ribuan tahun adalah dongeng yang makin diterima melalui pengulangan dalam artikel, buku, acara televisi, film dokumenter, video, dan berbagai macam pamflet yang menyalahkan salah satu pihak atau pihak lain atas penghancuran perpustakaan untuk memajukan agenda tertentu.

Gambaran tentang Perpustakaan Besar Alexandria dan semua pengetahuan tentang dunia kuno yang terbakar tentu saja lebih dramatis daripada skenario yang lebih biasa tentang kemunduran perpustakaan disebabkan oleh akibat intrik politik kecil dan perubahan sosial-politik-pandangan agama, tetapi yang terakhir ini hampir pasti yang sebenarnya terjadi. Tidak diragukan lagi bahwa karya-karya tertulis dihancurkan pada tahun 48 SM dan setelahnya, tetapi ini tidak berarti bahwa semua buku yang tersimpan di perpustakaan pada masa kejayaannya hilang. Seperti yang telah disebutkan, salinan-salinan telah dibuat dari koleksi tersebut, dan salinan tersebut meninggalkan Alexandria bersama dengan pemiliknya.

Alexandria mungkin dapat berbangga dengan predikat perpustakaan terbesar di dunia kuno pada masa Dinasti Ptolemaik awal, namun tidak ada catatan dari zaman kuno yang mendukung klaim bahwa perpustakaan tersebut masih merupakan pusat intelektual yang hebat pada Periode Romawi. Jelas, dari referensi dalam karya-karya berbagai penulis kuno bahwa sejumlah besar manuskrip hilang di Alexandria antara sekitar tahun 48 SM dan 415 M, tetapi apa saja yang hilang tidak diketahui. Banyak karya yang dirujuk sebagai bagian dari koleksi perpustakaan masih ada sampai sekarang di seluruh dunia dan menjadi bagian dari koleksi Bibliotheca Alexandrina ("Perpustakaan Alexandria"), yang dibuka pada tahun 2002 di Alexandria, Mesir, sebagai penghormatan kepada perpustakaan besar di zaman kuno.

Sisihkan pariwara
Advertensi

Pertanyaan & Jawaban

Apa itu Perpustakaan Alexandria?

Perpustakaan Alexandria adalah perpustakaan universal yang didirikan pada masa kekuasaan Ptolemy I dari Mesir untuk menyimpan semua buku yang pernah ditulis dan menciptakan "wadah berpikir" bagi para intelektual terkemuka pada masa itu.

Kapan Perpustakaan Alexandria didirikan?

Perpustakaan Alexandria didirikan pada masa kekuasaan Ptolemy I dari Mesir (323-282 SM) dan dibangun oleh Ptolemy II (282-246 SM).

Berapa lama Perpustakaan Alexandria bertahan sebagai pusat intelektual?

Perpustakaan Alexandria berkembang pesat antara tahun 323-145 SM ketika didanai oleh para penguasa Dinasti Ptolemaik. Perpustakaan ini mulai mengalami kemunduran setelah dukungan dari keturunan Ptolemaik berkurang sejak tahun 145 SM.

Apa yang terjadi dengan Perpustakaan Alexandria?

Perpustakaan Alexandria mengalami kemunduran karena kurangnya dukungan dari raja-raja Dinasti Ptolemaik dan dukungan yang tidak merata dari kaisar-kaisar Roma. Klaim bahwa ribuan buku kuno dihancurkan dalam kebakaran besar yang menghanguskan perpustakaan adalah fiksi belaka.

Tentang Penerjemah

Hendri Elvira
Hendri memiliki gelar pendidikan Sarjana Linguistik dengan jurusan Sastra Inggris dan tertarik dengan sejarah dunia dan warisan budaya.

Tentang Penulis

Joshua J. Mark
Joshua J. Mark adalah salah satu pendiri (co-founder) dan Content Director di World History Encyclopedia. Sebelumnya, dia adalah seorang profesor di Marist College (NY) di mana dia mengajar sejarah, filsafat, sastra, dan menulis. Dia telah melakukan perjalanan secara ekstensif dan tinggal di Yunani dan Jerman.

Kutip Karya Ini

Gaya APA

Mark, J. J. (2023, Juli 25). Perpustakaan Alexandria [Library of Alexandria]. (H. Elvira, Penerjemah). World History Encyclopedia. Diambil dari https://www.worldhistory.org/trans/id/1-10883/perpustakaan-alexandria/

Gaya Chicago

Mark, Joshua J.. "Perpustakaan Alexandria." Diterjemahkan oleh Hendri Elvira. World History Encyclopedia. Terakhir diubah Juli 25, 2023. https://www.worldhistory.org/trans/id/1-10883/perpustakaan-alexandria/.

Gaya MLA

Mark, Joshua J.. "Perpustakaan Alexandria." Diterjemahkan oleh Hendri Elvira. World History Encyclopedia. World History Encyclopedia, 25 Jul 2023. Web. 23 Des 2024.