Filsafat Yunani

12 hari tersisa

Berinvestasi dalam Pendidikan Sejarah

Dengan mendukung badan amal kami, World History Foundation, Anda berinvestasi untuk masa depan pendidikan sejarah. Donasi Anda membantu kami memberdayakan generasi penerus dengan pengetahuan dan keterampilan yang mereka butuhkan untuk memahami dunia di sekitar mereka. Bantu kami memulai tahun baru dengan siap mempublikasikan informasi sejarah yang lebih andal, gratis untuk semua orang.
$2196 / $10000

Ikhtisar

Joshua J. Mark
dengan , diterjemahkan dengan Hafizh Al Kapid
diterbitkan pada 13 Oktober 2020
Dengarkan artikel ini
X
Artikel Cetak
The School of Athens by Raphael (by Raphael, Public Domain)
Perguruan Athena oleh Raphael
Raphael (Public Domain)

Filsafat Yunani kuno adalah sistem berpikir yang dikembangkan pertama kali pada abad ke-6 SM. Fokus utamanya adalah melakukan penyelidikan terhadap Penyebab Pertama (First Cause) dari fenomena yang nampak. Sebelum Thales dari Miletos (585 SM) mengembangkan sistem berpikir ini, bangsa Yunani kuno memahami dunia sebagai ciptaan para dewa.

Tanpa mengingkari keberadaan para dewa, Thales menyatakan bahwa Penyebab Pertama dari segala sesuatu adalah air. Pemikiran ini tidak menimbulkan reaksi keras atau tuduhan kekafiran, karena air, sebagai elemen penting bagi kehidupan di bumi, sudah dikaitkan dengan para dewa agama Yunani. Penerus Thales, Anaximanderos (610-546 SM) dan Anaximenes (546 SM) melanjutkan dan menguji pemikiran Thales dan menghasilkan pemikiran yang berbeda terkait Penyebab Pertama.

Sisihkan pariwara
Advertensi

Tiga orang ini memulai sebuah tradisi penyelidikan yang dikenal sebagai filsafat Yunani kuno. Tradisi ini dikembangkan oleh mereka yang disebut sebagai Filsuf Pra-Sokratik, yaitu mereka yang mengusulkan spekulasi dan mengembangkan pemikiran yang berbeda-beda sejak Thales hingga masa Sokrates di Athena (470/469-399 SM). Sokrates menurut murid paling terkenalnya, yaitu Platon (424/423-348/347 SM), memperluas cakupan filsafat untuk tidak hanya membahas Penyebab Pertama, tetapi juga membahas kiat-kiat etika dan moral untuk meningkatkan kualitas seseorang di dalam komunitas yang lebih besar. Proyek filsafat Platon mengilhami Aristoteles (384-322 SM), muridnya dari Stagira, untuk mengembangkan mazhabnya sendiri dengan pandangan yang didasarkan dari Platon, namun memiliki perbedaan yang signifikan.

FILSAFAT YUNANI MENDASARI BANYAK SISTEM KEPERCAYAAN, NILAI KEBUDAYAAN, & KITAB HUKUM DI SELURUH DUNIA. IA MEMILIKI ANDIL YANG BESAR DALAM PERKEMBANGAN MEREKA.

Aristoteles di kemudian hari akan menjadi guru bagi Aleksander Agung (356-323 SM), yang melalui penaklukannya atas Persia, ia menyebarkan konsep filsafat Yunani ke wilayah Timur: dari wilayah yang sekarang menjadi Turki, naik ke Irak dan Iran, melewati Russia, turun ke India, dan kembali ke Mesir. Dari Mesir inilah nantinya muncul perkembangan sebuah mazhab pemikiran yang disebut sebagai Neo-Platonisme, yang berasal dari filsuf bernama Plotinos (202-274 SM) yang mengembangkan pemikiran Platon tentang Akal Ilahi (Divine Mind) yang membentuk dunia indrawi. Mazhab ini lalu akan memengaruhi Paulus sang Rasul dalam caranya memahami dan menafsirkan makna Yesus Kristus, yang kemudian menjadi dasar bagi perkembangan Kristianitas.

Sisihkan pariwara
Advertensi

Proyek filsafat Aristoteles dan Platon yang membentuk Kristianitas juga akan berperan penting dalam membentuk formula pemikiran Islam setelah Islam mapan berdiri pada abad ke-7 M, demikian halnya dengan konsep teologi Yudaisme. Pada hari-hari ini, filsafat yunani bercokol dalam sistem-sistem kepercayaan, nilai-nilai kebudayaan, & kitab-kitab hukum di seluruh dunia. Ia memiliki andil yang besar dalam perkembangan mereka.

Agama Yunani Kuno

Agama Yunani kuno menyatakan bahwa dunia yang indrawi dan segala hal di dalamnya merupakan ciptaan dewa-dewi abadi yang memiliki minat personal pada kehidupan manusia. Para dewa ini lalu membimbing dan menjaga manusia. Sebagai imbalannya, manusia berterima kasih kepada Sang Pengasih dengan cara berdoa dan melakukan pemujaan, yang kemudian kegiatan tersebut terlembagakan melalui kuil, tokoh agama, dan ritual. Penulis Yunani bernama Hesiodos (abad ke-8 SM) mengabadikan sistem kepercayaan ini di dalam karyanya, Theogonia, dan penyair Yunani bernama Homeros (abad ke-8 SM) juga mengilustrasikannya di dalam karya-karyanya, Illias dan Odisseia.

Sisihkan pariwara
Advertensi

Manusia, tumbuhan dan binatang, serta musim yang datang silih berganti, semua diciptakan oleh dewa-dewi Gunung Olympus. Mereka pun dipahami sebagai Penyebab Pertama dari segala sesuatu. Legenda-legendanya yang sekarang lebih dikenal sebagai mitologi Yunani, telah mampu menjelaskan berbagai aspek kehidupan, dan betapa para dewa itu harus dikenali dan dipuja. Maka dalam suasana kebudayaan yang seperti ini, tidak diperlukan dorongan intelektual atau spiritual untuk mencari Penyebab Pertama, karena hal itu sudah terdefinisikan dengan mapan.

The Titan Oceanus
Titan Oceanus
Mary Harrsch (CC BY-NC-SA)

Awal Mula Filsafat Yunani

Thales dari Miletos menyimpang dari kebudayaannya. Alih-alih menerima definisi teologis budayanya terkait Penyebab Pertama, dia melakukan penyelidikannya sendiri yang berdasarkan akal-rasio untuk mengungkap alam. Dia memeriksa ke belakang hal-hal yang dapat diamati untuk menemukan dari mana hal tersebut berasal. Yang menjadi pertanyaan di kalangan filsuf, sejarawan, dan ilmuwan sosial belakangan adalah bagaimana Thales menemukan inisiatif ini untuk pertama kali. Cendekiawan modern berbeda pendapat akan hal ini. Secara umum terdapat dua pandangan:

  • Thales adalah pemikir autentik yang menemukan cara baru penyelidikan.
  • Thales mengembangkan filsafatnya dari sumber-sumber Babilonia dan Mesir.

Semasa Thales hidup, Mesir sudah memiliki hubungan perdagangan yang panjang dengan kota-kota Mesopotamia, termasuk Babilonia. Dan baik bangsa Mesopotamia maupun bangsa Mesir, keduanya meyakini bahwa air adalah elemen yang mendasari segala sesuatu. Legenda penciptaan milik bangsa Babilonia (dari Enuma Elish tahun 1750 SM dalam versi tulisannya) menceritakan kekalahan dewi Tiamat (Tiamat berarti lautan) dari dewa Marduk, yang dari sisa-sisa tubuh dewi Tiamat ini kemudian terciptalah dunia. Legenda penciptaan milik bangsa Mesir juga melibatkan air sebagai elemen mula-mula yang kacau, yang darinya bumi muncul. Lalu dewa Atum meletakkannya di bawah kendalinya sehingga terciptalah keteraturan, dan dewa-dewa lain, binatang, serta manusia tercipta kemudian.

Sisihkan pariwara
Advertensi

Greek Philosophers
Para Filsuf Yunani
Amplitude Studios (Copyright)

Sudah lama diketahui bahwa filsafat Yunani kuno dimulai di wilayah koloni Yunani di Ionia, tepatnya di sepanjang pesisir Asia Kecil (sekarang Turki). Filsafat Yunani kuno dimulai oleh tiga filsuf Pra-Sokratik pertama yang berasal dari Miletos (salah satu kota) di Ionia. Oleh karena itu, mazhab Milesian dianggap sebagai mazhab pertama dalam filsafat Yunani. Penjelasan sederhana mengenai bagaimana Thales mula-mula menggeluti filsafatnya sudah dijelaskan di atas. Teori yang kedua lebih masuk akal karena tidak ada mazhab filsafat yang muncul dari ruang hampa. Tidak ditemukan indikasi apapun dalam kebudayaan Yunani di abad ke-6 SM yang mendorong seseorang untuk menyelidiki penyebab atas fenomena yang teramati.

Cendekiawan G.G.M. James mencatat bahwa filsuf yang datang belakangan, dari Pythagoras hingga Platon, konon pernah belajar di Mesir dan beberapa di antaranya mengembangkan filsafat di sana. Dia menganggap Thales juga mungkin pernah belajar pemikiran di Mesir sebelum akhirnya memantapkan praktik ini menjadi sebuah tradisi sehingga dapat diikuti orang lain. Meskipun anggapan ini mungkin saja benar, tidak ada dokumentasi yang secara pasti mendukungnya, selain bahwa memang Thales pernah belajar di Babilonia. Thales pasti telah mengenal filsafat Mesopotamia dan Mesir dalam studinya di sana, dan kemungkinan besar dari sanalah inspirasinya berasal.

Filsuf Pra-Sokratik

Terlepas dari bagaimana Thales mengembangkan pertama kali pemikiran rasional dan penyelidikan empirisnya terhadap hakikat realitas, dia telah memulai sebuah gerakan intelektual yang mengilhami orang lain untuk melakukan hal yang sama. Para filsuf berikut ini dikenal sebagai filsuf Pra-Sokratik karena mereka datang sebelum Sokrates. Mengutip klasifikasi dari cendekiawan Forrest E. Baird, filsuf besar Pra-Sokratik adalah sebagai berikut:

Sisihkan pariwara
Advertensi
  • Thales dari Miletos – 585 SM
  • Anaximandros – 610 - 546 SM
  • Anaximenes – 546 SM
  • Pythagoras – 571 - 497 SM
  • Xenofanes dari Kolophon – 570 - 478 SM
  • Herakleitos – 500 SM
  • Parmenides dari Elea – 485 SM
  • Zeno dari Elea – 465 SM
  • Empedokles – 484 - 424 SM
  • Anaxagoras – 500 - 428 SM
  • Demokritos – 460 - 370 SM
  • Leukippos – abad ke-5 SM
  • Protagoras – 485 - 415 SM
  • Gorgias – 427 SM
  • Kritias – 460 - 403 SM

Tiga orang yang pertama, berfokus pada Penyebab Pertama dari segala sesuatu. Thales menyatakan bahwa itu adalah air, namun Anaximandros menolak konsep ini dan mengajukan konsep yang lebih tinggi yaitu apeiron – “sesuatu yang tak terbatas (the unlimited), tak bertepi (the boundless), tak terhingga (the infinite), atau tak tentu (the indefinite)” (Baird, 10) – yang merupakan daya penggerak kreatif yang abadi. Anaximenes menyatakan bahwa udara adalah Penyebab Pertama, dengan alasan yang sama mengapa Thales memilih air: dia merasa udara adalah elemen paling mendasar yang menyusun segala sesuatu.

Definisi Penyebab Pertama ditolak oleh Pythagoras yang menyatakan bahwa angka adalah Kebenaran (Truth). Menurutnya, angka-angka tidak memiliki awal atau akhir, begitu pula dunia dan jiwa seseorang. Jiwa seseorang adalah abadi, dia melewati banyak inkarnasi, dan memperoleh kebijaksanaan. Meskipun, lalu Pythagoras akan menyatakan, bahwa jiwa pada akhirnya akan menyatu dengan sebuah jiwa yang lebih tinggi (Tuhan). Bagaimana Pythagoras mendefinisikan jiwa yang lebih tinggi ini tidak jelas. Xenofanes lalu akan menjawabnya dengan pernyataannya bahwa hanya ada satu Tuhan yang menjadi Penyebab Pertama sekaligus pengatur alam semesta. Dia menolak penggambaran dewa yang menyerupai manusia (anthromorphic) seperti Dewa-dewi Olympus, dan menggantinya dengan pandangan tuhan yang monoteistik, di mana Tuhan adalah Roh Murni (Pure Spirit).

Bust of Pythagoras
Patung Dada Pythagoras
Skies (CC BY-SA)

Rekan sezamannya, Herakleitos, menolak pandangan ini dan mengganti konsep “Tuhan” dengan “Perubahan". Baginya, hidup itu berubah-ubah – perubahan adalah hal yang paling tepat untuk mendefinisikan “kehidupan” – dan segala sesuatu itu dapat menjadi ada dan tiada disebabkan hakikat dari keberadaan (existence) itu sendiri, yaitu perubahan.

Parmenides menggabungkan kedua pandangan sebelumnya dalam Mazhab Elea-nya melalui ajaran tentang Monisme. Monisme adalah kepercayaan bahwa segala realitas yang indrawi memiliki satu substansi tunggal yang tidak pernah diciptakan dan tidak dapat dihancurkan. Pemikiran Parmenides lalu dikembangkan oleh muridnya, yaitu Zeno dari Elea, yang membuat serangkaian paradoks logika yang membuktikan bahwa keragaman adalah ilusi indrawi dan realitas sebenarnya seragam.

Empedokles menggabungkan filsafat para pendahulunya dengan filsafatnya yang menyatakan bahwa empat elemen tercipta dari pertikaian di alam semesta yang saling berbenturan, namun diutuhkan oleh daya kreatif dan daya regenerasi yang dia sebut dengan cinta. Anaxagoras mengadopsi gagasan ini dan mengembangkannya dengan konsep seperti-dan-tidak-seperti (like-and-not-like) dan konsep “benih”. Tidak ada sesuatu pun yang muncul dari sesuatu yang tidak-seperti dirinya, dan segala sesuatu itu tersusun dari partikel-partikel ("benih") yang menyusun sesuatu tersebut.

Teori “benih” Anaxagoras akan memengaruhi konsep atom milik Leukippos dan muridnya, Demokritos, yang mencari “benih” dasar dari segala sesuatu. Mereka menyatakan bahwa seluruh alam semesta disusun oleh “sesuatu yang tidak dapat dibagi” (the un-cutables), yang lalu disebut sebagai atamos. Teori atom Leukippos mengilhami teori lain miliknya yaitu teori tentang fatalisme. Teori ini menyatakan, sebagaimana atom-atomlah yang menyusun realitas yang indrawi, maka pembubaran dan pembentukan atom-atom jugalah yang menentukan nasib seseorang.

KAUM SOFIS MENGAJARKAN BAHWA SESEORANG DAPAT MEMBUAT “YANG BURUK TAMPAK LEBIH BAIK” DENGAN BERBAGAI ARGUMEN.

Proyek para filsuf tersebut (dan yang tidak disebutkan di sini) mendorong munculnya profesi Sofis – kaum intelektual terdidik yang mengajar dengan imbalan kepada para pemuda kelas atas Yunani. Mereka mengajarkan berbagai filsafat sebagai bagian dari seni keterampilan persuasi untuk memengangkan argumen. Tuntutan hukum merupakan hal yang lumrah di Yunani kuno, terutama di Athena. Oleh karenanya, keterampilan yang ditawarkan oleh para Sofis ini menjadi sangat bernilai. Sama halnya para filsuf awal yang menentang apa yang diterima sebagai “pengetahuan umum”, para Sofis mengajarkan bahwa seseorang dapat membuat “yang buruk tampak lebih baik” dengan berbagai argumen.

Beberapa yang paling terkenal dari para pendidik ini adalah Protagoras, Gorgias, dan Kritias. Protagoras terkenal dengan pernyataannya bahwa “manusia adalah ukuran segala sesuatu”, yang berarti bahwa segala sesuatu itu relatif terhadap pengalaman dan penafsiran tiap individu. Gorgias mengajarkan bahwa yang disebut sebagai “pengetahuan” sebenarnya hanya opini, dan pengetahuan sejati tidak dapat dikenali. Kritias, yang merupakan murid awal Sokrates, terkenal dengan pernyataannya bahwa agama diciptakan oleh orang-orang kuat dan cerdik untuk mengendalikan yang lemah dan mudah tertipu.

Sokrates, Platon, & Mazhab Sokratik

Sokrates dianggap oleh beberapa orang sebagai seorang Sofis, namun sebenarnya Sokrates mengajar secara gratis tanpa mengharapkan imbalan. Sokrates sendiri tidak menulis apapun. Semua yang kita ketahui tentang filsafatnya datang dari dua muridnya yaitu Platon dan Xenofon (430-354 SM). Bentuk-bentuk filsafatnya diadopsi dalam mazhab-mazhab filsafat setelahnya milik murid-muridnya yang lain seperti Antisthenes dari Athena (445-365 SM), Aristippos dari Kyrene (435-356 SM), dan lainnya.

Fokus Sokrates adalah pada peningkatan “karakter” individu, yang dia definisikan sebagai “jiwa”, untuk menjalani hidup yang mulia. Gagasan utama Sokrates terangkum dalam kutipan yang dikaitkan kepadanya oleh Platon, bahwa “hidup yang tidak teruji, tidak pantas dijalani” (Apologia 38b). Dan bahwa alih-alih seseorang hanya mengulangi apa yang diterima dari orang lain, dia seharusnya menguji keyakinan orang lain tersebut–dan bagaimana sebuah keyakinan dapat membentuk perilaku seseorang. Hal-hal itu harus dilakukan atau disadari demi meraih kejujuran-diri dan perilaku adil. Ajaran-ajaran utama Sokrates tertuang dalam empat seri dialog milik Platon yang umumnya diterbitkan dalam satu judul seperti Hari-hari Terakhir Sokrates – Euthyphron-Apologia-Kriton-Phaidon – yang mengisahkan hari-hari terakhir Sokrates di dalam penjara menjelang eksekusi matinya. Dia didakwa oleh rakyat Athena dengan tuduhan kekafiran dan merusak generasi muda.

Socrates Bust, British Museum
Patung Dada di British Museum
Osama Shukir Muhammed Amin (Copyright)

Semua seri dialog milik Platon, yang hampir selalu melibatkan Sokrates sebagai karakter utamanya, bisa jadi merupakan cerminan dari pemikiran asli Sokrates–tapi bisa jadi tidak. Orang-orang yang sezaman dengan Platon bahkan mengatakan bahwa “Sokrates” yang muncul dalam dialognya tidak mirip dengan Sokrates yang mereka kenal. Antisthenes, pendiri mazhab Sinis, yang berfokus pada topik kesederhanaan hidup – dan ajarannya bahwa perilaku adalah cerminan dari karakter – serta penolakannya terhadap kemewahan, dan juga Aristippos, pendiri hedonisme mazhab Kyrenaik yang mengajarkan tentang kemewahan dan kesenangan sebagai tujuan tertinggi dalam hidup, keduanya adalah murid Sokrates–sama dengan Platon. Akan tetapi filsafat milik keduanya sama sekali berbeda dengan filsafat milik Platon.

Terlepas dari bagaimana ajaran Sokrates yang asli, filsafat Platon yang disandarkan kepada Sokrates didasarkan pada konsep dunia Kebenaran yang abadi (Dunia Bentuk/the Realm of Forms), di mana dunia indrawi hanyalah sebuah bayangan. Konsep-konsep mengenai Kebenaran (Truth), Kebaikan (Goodness), Keindahan (Beauty), dan konsep lain yang ada di dunia kita saat ini – atau apa yang orang sebut sebagai yang benar, yang baik, atau yang indah – hanyalah upaya untuk mengungkapkan hal lain, dan bukan merupakan hal-hal itu sendiri. Platon menyatakan bahwa pemahaman manusia dikaburkan dan dibatasi oleh penerimaan atas sebuah kebohongan sejati (true lie), yang juga dikenal sebagai “Kebohongan dalam Jiwa” (Lie in the Soul). Kebohongan ini menyebabkan manusia memiliki keyakinan yang salah tentang aspek-aspek terpenting dalam kehidupan. Jalan keluar dari kebohongan ini adalah dengan mengakui dan menyelaraskan pemahaman kita dengan dunia yang lebih tinggi melalui pencarian kebijaksanaan.

Aristoteles & Plotinos

Bisa jadi Platon sengaja mengaitkan gagasan filosofisnya dengan Sokrates untuk menghindari nasib yang sama seperti gurunya. Sokrates didakwa karena dituduh telah kafir, lalu dia dieksekusi pada tahun 399 SM. Para pengikutnya kemudian berpencar. Platon sendiri pergi ke Mesir dan mengunjungi sejumlah tempat sebelum akhirnya kembali ke Athena untuk mendirikan Akademi dan menulis dialog-dialognya. Di antara para muridnya, yang paling terkenal adalah Aristoteles putra Nikomakhus yang berasal dari Stagira dekat perbatasan Makedonia.

Aristoteles menolak pandangan Platon mengenai Teori Bentuk (Theory of Forms) dan lebih berfokus pada pendekatan teleologis-filosofis, di mana penyebab pertama diperoleh dengan memeriksa keadaan akhirnya. Aristoteles akan mengatakan, kita tidak mengetahui bagaimana pohon itu tumbuh dari benih dengan merenungkan “kepohonannya”, melainkan dengan melihat ke pohon itu sendiri; mengamati bagaimana pohon itu tumbuh, apa yang menyusun sebuah benih, di tanah mana sebuah benih dapat tumbuh menjadi pohon. Dengan cara yang sama, kita tidak bisa memahami manusia dengan memikirkan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang manusia, melainkan dengan mengenali siapa dirinya dan bagaimana orang tersebut mengembangkan kualitasnya.

Aristotle Bust by Lisippo
Patung Dada Aristoteles oleh Lisippo
Mark Cartwright (CC BY-NC-SA)

Aristoteles percaya bahwa tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan. Seseorang menjadi tidak bahagia manakala dia mencari kepuasan diri yang langgeng di dalam kekayaan materi, kedudukan, atau hubungan–yang bersifat sementara. Kepuasan diri yang langgeng hanya dapat dicapai dengan mengembangkan arete (“keunggulan pribadi”/personal excellence), yang merupakan satu-satunya jalan yang memungkinkan seseorang untuk mengalami suasana eudaimonia (“kebahagiaan sejati”/to be possessed of a good spirit). Sekali seseorang mencapai eudaimonia, dia tidak akan kehilangannya, dan setelah itu, dia dapat membantu orang lain menuju keadaan yang sama. Aristoteles percaya bahwa Penyebab Pertama adalah sebuah daya yang dia definisikan sebagai Penggerak Utama (the Prime Mover), yang darinya segala sesuatu lantas bergerak dan tetap bergerak. Topik mengenai Penyebab Pertama tidak terlalu penting bagi Aristoteles. Dia lebih suka memahami cara kerja dunia indrawi dan cara terbaik hidup di dalamnya.

Aristoteles menjadi guru bagi Aleksander Agung yang akan menyebarkan filsafatnya dari Timur Dekat hingga India. Sementara pada saat yang sama, Aristoteles akan mendirikan perguruannya, Lykeion, di Athena, dan mengajar di sana. Dia menyelidiki hampir setiap bidang dan disiplin pengetahuan di sepanjang sisa hidupnya. Dia lalu dikenal oleh para penulis setelahnya dengan sebutan Sang Guru.

Tidak semua pemikir setelahnya menganut filsafatnya secara utuh. Namun di antara mereka ada seseorang bernama Plotinos yang menggabungkan idealisme Platon dan pendekatan teleologis Aristoteles di dalam filsafatnya yang dikenal sebagai Neo-Platonisme, yang juga mengandung unsur-unsur mistisisme India, Mesir, dan Persia. Dalam filsafat ini terdapat suatu konsep Kebenaran Hakiki (Ultimate Truth), yang begitu misteriusnya sehingga tidak dapat dipahami oleh akal manusia. Kebenaran ini tidak pernah diciptakan, tidak dapat dihancurkan, dan bahkan tidak dapat dinamai; Plotinos menyebutnya nous yang berarti Akal Ilahi (Divine Mind).

Tujuan hidup adalah membangkitkan jiwa menuju kesadaran Akal Ilahi dan hidup selaras dengannya. Apa yang kita sebut sebagai yang “jahat” (evil), muncul karena adanya keterikatan dengan hal-hal yang bersifat sementara yang kita yakini dapat mendatangkan kebahagiaan; “baik” (good) yang sejati adalah mengakui hakikat dunia materi yang tidak kekal dan tidak pernah memuaskan, dan memfokuskan diri kepada Akal Ilahi yang darinya muncul segala kebaikan dalam hidup.

Kesimpulan

Plotinos menjawab pertanyaan Thales terkait Penyebab Pertama dengan jawaban yang Thales coba untuk hindari–jawaban ilahiah. Laiknya dewa-dewi Yunani kuno, nous adalah kepercayaan yang tidak dapat dibuktikan; itu semacam sebuah keimanan yang mendasari penafsiran seseorang atas dunia indrawi. Penekanan Plotinos akan realitas nous didorong oleh ketidakpuasannya terhadap jawaban lain. Agar segala sesuatu di dunia ini menjadi benar, harus ada sumber Kebenaran, dan jika segala sesuatu bersifat relatif terhadap individu, Protagoras akan menyatakan, maka tidak ada yang namanya Kebenaran, yang ada hanyalah opini. Plotinos, seperti halnya Platon, menolak pandangan Protagoras dan memantapkan Akal Ilahi sebagai sumber, tidak hanya kebenaran, tetapi juga segala kehidupan dan kesadaran itu sendiri.

Pemikiran Neo-Platonisme akan memengaruhi Santo Paulus dalam perkembangan pandangan Kristennya. Tuhan dalam agama Kristen dipahami oleh Paulus dengan cara yang sangat mirip dengan nous Plotinos, hanya saja dengan karakter yang berbeda, bukan lagi sebagai Akal Ilahi yang samar. Karya-karya Aristoteles, yang telah diterjemahkan dan lebih dikenal di Timur Dekat, memengaruhi perkembangan teologi Islam. Sementara itu, para cendekiawan Yahudi mengadopsi gagasan dari Platon, Aristoteles, dan Plotinos dalam pemikiran mereka.

Filsafat Yunani kuno juga membentuk nilai-nilai kebudayaan di seluruh dunia, tidak hanya melalui penaklukan oleh Aleksander Agung, tapi juga melalui penyebaran oleh para penulis yang belakangan. Kitab-kitab hukum dan konsep-konsep sekuler terkait moralitas yang ada hingga saat ini berasal dari filsafat Yunani, bahkan mereka yang belum pernah membaca satu pun karya filsuf Yunani, dalam tingkatan tertentu akan dipengaruhi olehnya. Dari penyelidikan awal Thales terkait penyebab pertama hingga metafisika rumit Plotinos, filsafat Yunani kuno memiliki banyak penggemar yang mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sama. Dan seiring penyebarannya, filsafat Yunani kuno menyediakan landasan kebudayaan bagi Peradaban Barat.

Sisihkan pariwara
Advertensi

Pertanyaan & Jawaban

Apa arti filsafat?

Istilah filsafat berasal dari kata Yunani yang berarti "cinta akan kebijaksanaan."

Apa itu filsafat Yunani?

Filsafat Yunani adalah istilah untuk sistem pemikiran yang dikembangkan oleh para filsuf Yunani kuno dari Thales orang Miletos hingga Aristoteles.

Siapa filsuf Yunani yang paling terkenal?

Tiga filsuf Yunani yang paling terkenal adalah Sokrates, Platon, dan Aristoteles.

Mengapa filsafat Yunani itu penting?

Filsafat Yunani itu penting karena kontribusinya dalam mendasari banyak sistem kepercayaan, kitab hukum, nilai kebudayaan, dan agama monoteistik di dunia modern.

Tentang Penerjemah

Hafizh Al Kapid
Seorang penerjemah yang menyukai cerita-cerita lucu.

Tentang Penulis

Joshua J. Mark
Joshua J. Mark adalah salah satu pendiri (co-founder) dan Content Director di World History Encyclopedia. Sebelumnya, dia adalah seorang profesor di Marist College (NY) di mana dia mengajar sejarah, filsafat, sastra, dan menulis. Dia telah melakukan perjalanan secara ekstensif dan tinggal di Yunani dan Jerman.

Kutip Karya Ini

Gaya APA

Mark, J. J. (2020, Oktober 13). Filsafat Yunani [Greek Philosophy]. (H. A. Kapid, Penerjemah). World History Encyclopedia. Diambil dari https://www.worldhistory.org/trans/id/1-11892/filsafat-yunani/

Gaya Chicago

Mark, Joshua J.. "Filsafat Yunani." Diterjemahkan oleh Hafizh Al Kapid. World History Encyclopedia. Terakhir diubah Oktober 13, 2020. https://www.worldhistory.org/trans/id/1-11892/filsafat-yunani/.

Gaya MLA

Mark, Joshua J.. "Filsafat Yunani." Diterjemahkan oleh Hafizh Al Kapid. World History Encyclopedia. World History Encyclopedia, 13 Okt 2020. Web. 19 Des 2024.