Mahabharata adalah kisah epos India di mana seluruh kisahnya berkisar pada dua cabang keluarga – Pandawa dan Kurawa – yang, dalam Perang Kurukshetra, berperang memperebutkan takhta Hastinapura. Di dalamnya terjalin beberapa cerita yang lebih singkat mengenai orang-orang yang sudah mati atau yang masih hidup, dan ajaran filosofis. Krishna-Dwaipayana Wiyasa, adalah salah satu tokoh dalam epos ini, yang menciptakannya; seperti menurut tradisi, Krishna mendiktekan bait-baitnya dan Ganesha menuliskannya. Dengan 100.000 bait, epos ini adalah puisi terpanjang yang pernah dituliskan, umumnya dianggap ditulis pada abad ke-4 SM atau sebelumnya. Kejadian-kejadian dalam kisah ini terjadi di anak benua India dan wilayah-wilayah sekitarnya. Peristiwa-peristiwa dalam epos ini terjadi di anak benua India dan daerah sekitarnya. Kisah ini pertama kali diceritakan oleh seorang murid Wiyasa saat mempersembahkan korban ular kepada cicit salah satu tokoh utama dalam kisah tersebut. Termasuk di dalamnya Bhagawad Gita, Mahabharata adalah salah satu teks terpenting dalam sastra India kuno, bahkan sastra dunia.
Pendahuluan
Santanu, raja Hastinapura, menikah dengan Dewi Gangga (personifikasi Sungai Gangga) dan dengannya ia memiliki seorang putra bernama Dewabrata. Beberapa tahun kemudian, ketika Dewabrata sudah tumbuh menjadi pangeran yang cakap, Santanu jatuh cinta dengan Setyawati. Ayah Setyawati menolak lamaran sang raja kecuali sang raja berjanji bahwa putra dari Setyawati dan keturunannya yang akan mewarisi takhta. Karena tidak rela menghilangkan hak putranya, Dewabrata, Santanu menolaknya, namun, sang pangeran, begitu mengetahui duduk persoalannya, mendatangi rumah Setyawati, berikrar untuk melepaskan haknya dan hidup selibat sepanjang hidupnya. Sang pangeran kemudian membawa pulang Setyawati ke istana agar ayahnya, sang raja, bisa menikahinya. Akibat sumpahnya ini Dewabrata disebut sebagai Bisma. Santanu menjadi teramat senang pada putranya sehingga ia menghadiahi Dewabrata berkah untuk bisa memilih sendiri waktu kematiannya.
Pada waktunya, Santanu dan Setyawati memiliki dua orang putra. Tidak lama setelahnya, Santanu wafat. Putra-putra Setyawati masih kecil-kecil, sehingga urusan-urusan kerajaan ditangani oleh Bisma dan Setyawati. Pada saat mereka sudah mencapai usia dewasa, si sulung meninggal karena berkelahi dengan gandarwa (makhluk kahyangan), oleh karena itu adiknya, Wicitrawirya, naik takhta. Bisma kemudian menculik tiga putri dari kerajaan tetangga dan membawa mereka ke Hastinapura untuk dinikahkan dengan Wicitrawirya. Putri yang sulung menyatakan bahwa ia sudah mencintai orang lain, maka ia diperbolehkan pergi; kedua putri yang lain menikah dengan Wicitrawirya yang meninggal tidak lama kemudian, tanpa anak.
Drestarasta, Pandu, dan Widura
Agar garis keluarga tidak putus, Setyawati memanggil putranya WIyasa untuk menghamili kedua ratu. Wiyasa dilahirkan oleh Setyawati dengan seorang resi Bernama Parashar sebelum pernikahannya dengan Santanu. Menurut hukum yang berlaku pada zaman itu, seorang anak yang lahir dari ibu yang tidak menikah dijadikan anak tiri dari suami ibunya; dengan demikina, Wiyasa bisa dianggap sebagai sebagai putra Santanu dan bisa digunakan untuk melestarikan klan Kuru yang memerintah Hastinapura. Maka, sesuai tradisi niyoga, masing-masing ratu memiliki seorang putra dari Wiyasa: ratu yang lebih tua melahirkan putra yang buta bernama Drestarasta dan ratu yang lebih muda melahirkan putra yang lebih sehat tapi berkulit sangat pucat Bernama Pandu. Dari seorang dayang milik para ratu Wiyasa memiliki seorang putra bernama Widura. Bisma membesarkan ketiga anak laki-laki ini dengan penuh perhatian. Drestarasta tumbuh menjadi pangeran terkuat di kerajaan, Pandu adalah yang paling berbakat dalam berperang dan memanah, dan Widura mengetahui semua cabang ilmu, politik, dan tata negara.
Dengan bertumbuhnya para pangeran ini, sudah saatnya untuk mengisi kekosongan takhta Hastinapura. Drestarasta, yang paling tua, dilewati karena hukum melarang orang yang memiliki keterbatasan menjadi raja. Akhirnya Pandu dilantik menjadi raja. Bisma menegosiasikan pernikahan Drestarasta dengan Gandhari, dan Pandu dengan Kunti dan Madri. Pandu memperluas kerajaan dengan menaklukkan wilayah-wilayah sekitar, dan membawa pulang rampasan perang yang banyak. Karena segala sesuatu di kerajaan berjalan lancar, dan kas negara pun penuh, Pandu meminta kakak laki-lakinya untuk menangani urusan negara sementara ia pergi beristirahat di hutan bersama kedua istrinya.
Kurawa dan Pandawa
Beberapa tahun kemudian, Kunti kembali ke Hastinapura dengan kelima putranya dan jenazah Pandu dan Madri. Kelima anak laki-laki itu adalah putra-putra Pandu, yang dilahirkan istri-istrinya lewat tradisi Niyoga dari dewa: si sulung lahir dari Dewa Dharma (Yama), yang kedua dari Dewa Bayu, yang ketiga dari Dewa Indra, dan si bungsu – kembar – dari dewa Aswin. Sementara itu, Drestarasta dan Gandhari juga memiliki anak-anak sendiri: 100 orang putra dan seorang putri. Para tetua Kuru melakukan ritual pemakaman untuk Pandu dan Madri; dan Kunti beserta anak-anaknya diterima di istana.
Seluruh pangeran yang berjumlah 105 orang kemudian diserahkan pada seorang guru: Kripa, pada awalnya, dan Drona, pada akhirnya. Sekolah milik Drona menarik minat beberapa anak-anak laki lain; Karna dari golongan Suta salah satunya. Di sinilah permusuhan terjadi antara putra-putra Drestarasta (secara kolektif disebut Kurawa, sesuai dengan nama leluhur mereka, Kuru) dan putra-putra Pandu (secara kolektif disebut Pandawa, sesuai nama ayah mereka).
Duryodhana, yang paling tua dari para Kurawa, mencoba – dan gagal – meracuni Bima, Pandawa keuda. Karna, karena persaingannya dalam panahan dengan Pandawa ketiga, Arjuna, bersekutu dengan Duryodhana. Pada waktunya, para pangeran mempelajari semua kemampuan mereka dari guru-guru mereka, dan para tetua Kuru memutuskan untuk menggelar unjuk kemampuan di depan khalayak ramai untuk para pangeran. Pada acara unjuk kemampuan inilah publik menyadari adanya permusuhan antara kedua cabang keluarga kerajaan ini: Duryodhana dan Bima saling berkelahi dengan menggunakan palu gada yang harus dihentikan sebelum mereka kelewat batas, Karna – tidak diundang karena bukan pangeran Kuru – menantang Arjuna, dihina karena latar belakangnya yang bukan dari kalangan bangsawan, dan diangkat menjadi raja negara bawahan oleh Duryodhana saat itu juga. Pada saat ini pulalah pertanyaan-pertanyaan mulai bermunculan mengenai Destrarasta yang menduduki takhta, karena ia seharusnya hanya sementara bertakhta menggantikan Pandu, raja yang dilantik. Untuk menjaga perdamaian, Drestarasta mendeklarasikan si sulung dari Pandawa, Yudistira, sebagai putra mahkota dan pewaris takhta.
Pengasingan Pertama
Kenyataan bahwa Yudistira menjadi putra mahkota yang popularitas makin meningkat di mata rakyat membuat Duryodhana sangat marah; ia memandang drinya sendiri sebagai pewaris takhta yang sah karena ayahnya adalah raja de facto. Ia merencanakan untuk menyingkirkan para Pandawa; ia meminta ayahnya untuk mengirim Kunti dan para Pandawa ke kota terdekat dengan dalih ada perayaan di sana. Istana tempat para Pandawa menginap dibangun oleh anak buah Duryodhana; istana tersebut dibangun menggunakan bahan yang mudah terbakar karena rencananya adalah membakar istana tersebut – bersama dengan para Pandawa dan Kunti di dalamnya. Akan tetapi, para Pandawa sudah diperingatkan oleh paman mereka, Widura, dan sudah menyiapkan rencana untuk mengagalkannya; mereka menggali terowongan untuk melarikan diri di bawah kamar-kamar mereka. Pada suatu malam, para Pandawa mengadakan perjamuan besar di mana seluruh warga kota juga datang. Pada perjamuan itu, seorang wanita hutan dan kelima putranya makan-minum dengan puas hingga mereka tidak bisa berjalan tegak – mereka pingsan di lantai aula. Di malam itu juga, para Pandawa membakar istana tersebut dan melarikan diri lewat terowongan. Saat api padam, warga kota menemukan tulang-belulang si wanita hutan dan putra-putranya dan menyangka bahwa itu adalah Kunti dan Pandawa. Duryodhana mengira rencananya berhasil dan dunia sudah bebas dari Pandawa.
Arjuna dan Drupadi
Sementara itu, Pandawa dan Kunti bersembunyi – berpindah dari satu tempat ketempat lain dan menyamar sebagai keluarga brahmana miskin. Mereka menginap di rumah penduduk desa selama beberapa minggu; para pangeran pergi setiap hari untuk meminta makanan, kembali di sore hari dan menyerahkan perolehan mereka hari itu pada Kunti yang kemudian membagi makanan menjadi dua: separuh untuk Bima yang perkasa dan sisanya dibagi-bagi di antara mereka. Selama pengelanaan ini Bima membunuh dua jin, menikah dengan wanita jin, dan memiliki anak setengah jin bernama Gatotkaca. Kemudian mereka mendengar tentang sebuah swayamvar – sayembara (upacara untuk memilih pasangan) – yang diadakan untuk putri kerajaan Panchala lalu pergi ke sana untuk melihat keramaian tersebut. Menurut praktiknya, mereka meninggalkan ibu mereka di rumah dan pergi mencari sedekah: mereka tiba di aula sayembara di mana sang raja sedang membagi-bagikan derma dengan murah hati kepada para pencari sedekah. Kelima bersaudara itu duduk di aula untuk menonton keseruan acara: Putri Drupadi, lahir dari api, terkenal akan kecantikannya hingga semua pangeran dari jauh datang ke sayembara berharap bisa mempersuntingnya. Syarat yang diberikan dalam sayembara itu sulit: sebatang tiang panjang yang menancap di tanah memiliki alat melingkar di puncaknya. Pada piringan yang berputar ini terdapat seekor ikan. Di bagian bawah tiang terdapat kendi dangkal berisi air. Seseorang harus menunduk ke cermin air ini, menggunakan busur dan lima anak panah yang sudah disediakan, dan menembak ikan yang berputar di atas tiang. Mereka diberikan lima kesempatan. Jelas sudah bahwa hanya pemanah yang paling handal saja, seperti Arjuna yang dianggap sudah tewas, yang bisa melewati tes ini.
Satu per satu, para raja dan pangeran mencoba menembak ikan tersebut namun gagal. Beberapa bahkan tidak mampu mengangkat busurnya; ada yang tidak bisa memasang tali pada busur. Para Kurawa dan Karna juga hadir. Karna mengangkat busur tersebut dan dengan cepat memasang talinya, namun ia dilarang untuk membidik ketika Drupadi menyatakan ia tidak akan menikahi siapapun dari golongan Suta. Setelah satu per satu bangsawan gagal, Arjuna, Pandawa ketiga, maju menuju tiang, mengangkat busur, memasang talinya, memasang kelima anak panah yang tersedia pada busur, menunduk melihat pada air, membidik, menembak, dan menusuk mata ikan tersebut dengan kelima anak panah hanya dengan satu kali tembakan. Arjuna memenangkan Drupadi.
Pandawa bersaudara, masih menyamar sebagai brahmana miskin, membawa Drupadi kembali ke pondok mereka dan memanggil Kunti, “Ibu, Ibu, datang dan lihatlah apa yang kami bawa pulang hari ini.” Kunti berkata, “Apapun itu, berbagilah dengan saudara-saudaramu”, keluar dari pondok, melihat bahwa yang mereka bawa bukanlah sedekah melainkan wanita paling cantik yang pernah ia lihat, Kunti berdiri terpaku saat mereka semua menyadari arti kata-katanya barusan.
Sementara itu, saudara kembar Drupadi, Drestadyumna, tidak senang saudarinya menikah dengan rakyat jelata yang miskin, ia diam-diam mengikuti Pandawa kembali ke pondok mereka. Selain itu mereka juga diam-diam diikuti oleh seorang pangeran berkulit gelap dan saudaranya yang berkulit terang – Krishna dan Balarama dari klan Yadawa – yang mencurigai si pemanah tanpa nama itu tidak lain adalah Arjuna, yang diduga sudah tewas pada insiden kebakaran istana beberapa bulan lalu. Kedua pangeran ini masih berkerabat dengan Pandawa – ayah mereka adalah saudara laki-laki Kunti – namun mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Entah karena memang sudah takdir atau kebetulan semata, Wiyasa juga tiba di sana pada saat yang bersamaan; dan pondok Pandawa menjadi meriah, air mata pun tumpah karena gembira akan pertemuan ini. Untuk menaati kata-kata Kunti, diputuskan Drupadi akan menjadi istri bagi kelima Pandawa. Saudara Drupadi, Drestadyumna, dan ayahnya, Raja Drupada, tidak begitu senang dengan pengaturan yang tidak biasa ini, namun mereka berhasil diyakinkan oleh Wiyasa dan Yudistira.
Indraprastha dan Permainan Dadu
Setelah upacara pernikahan di Pancala selesai, kerajaan Hastinapura mengundang Pandawa dan istri mereka. Drestarasta menunjukkan kegembiraan yang besar karena mengetahui bahwa Pandawa masih hidup, kemudian ia membagi kerajaan dan memberikan tanah kosong yang luas untuk ditinggali dan diperintah oleh Pandawa. Pandawa mengubah tanah kosong ini menjadi surga. Yudistira dinobatkan di sana, dan ia melakukan upacara pengorbanan yang melibatkan semua raja di negeri itu untuk menerima – baik dengan sukarela maupun dengan paksa – kedaulatannya. Kerajaan baru, Indraprastha, menjadi makmur.
Sementara itu, para Pandawa membuat perjanjian di antara mereka sendiri mengenai Drupadi: para Pandawa secara bergiliran menjadi suami Drupadi dalam jangka waktu setahun untuk masing-masing Pandawa. Jika dalam waktu setahun itu ada salah satu Pandawa yang masuk ke kamar saat Drupadi sedang bersama dengan suami yang lain, Pandawa tersebut akan diasingkan selama 12 tahun. Tidak sengaja, Arjuna masuk ke dalam kamar saat Drupadi sedang bersama Yudistira, suaminya pada tahun itu, untuk mengambil busur dan panahnya. Sebagai hukuman, Arjuna diasingkan. Dan dalam pengasingannya Arjuna berkelana ke seluruh penjuru negeri, hingga ke ujung paling Selatan dan menikahi tiga orang putri yang ia temui dalam perjalanan.
Kemakmuran Indraprastha dan kekuatan Pandawa bukanlah hal yang menyenangkan bagi Duryodhana. Ia mengundang Yudistira untuk bermain permainan dadu dan meminta pamananya, Sangkuni, untuk bermain atas namanya (Duryodhana). Sangkuni adalah pemain yang handal; Yudistira bertaruh – dan kalah – sedikit demi sedikit seluruh kekayaannya, kerajaannya, saudara-saudaranya, dirinya sendiri, dan Drupadi. Drupadi diseret ke aula permainan dan dihina. Para Kurawa mencoba menelanjangi Drupadi hingga Bima kehilangan kendali dan bersumpah untuk membunuh setiap Kurawa. Keadaan memanas hingga akhirnya Drestarasta dengan enggan ikut campur, mengemabalikan kerajaan dan kebebasan kepada Pandawa dan Drupadi, dan mengirim mereka kembali ke Indraprastha. Hal ini membuat Duryodhana marah, kemudian ia berbicara pada ayahnya dan mengundang Yudistira untuk permainan dadu lagi. Kali ini, syaratnya adalah pihak yang kalah harus mengasingkan diri selama 12 tahun ditambah satu tahun hidup dalam peyamaran. Jika mereka dikenali saat dalam periode penyamaran, mereka harus mengulang siklus 12+1 lagi. Permainan dadu dimainkan. Yudistira kalah lagi.
Pengasingan Kedua
Dalam pengasingan kali ini, Pandawa meninggalkan ibu mereka yang sudah semakin tua di Hastinapura, di istana milik Widura. Mereka hidup di hutan, berburu hewan, dan mengunjungi tempat-tempat suci. Pada waktu ini, Yudistira meminta Arjuna pergi ke kahyangan untuk mendapatkan senjata kahyangan karena, sekarang, jelas bahwa kerajaan mereka tidak akan dikembalikan secara baik-baik setelah pengasingan ini dan mereka akan harus berperang untuk mendapatkannya. Arjuna melakukannya, dan tidak hanya ia berhasil mempelajari teknik menggunakan senjata-senjata ini dari para dewa, ia juga belajar cara menyanyi danmenari dari pada gandharwa.
Setelah 12 tahun, Pandawa hidup dalam penyamaran selama setahun. Selama periode setahun ini, mereka tinggal di kerajaan Wirata. Yudistira bekerja sebagai penasihat raja, Bima bekerja di dapur kerajaan, Arjuna menyamar menjadi kasim dan mengajarkan dayang-dayang menari dan menyanyi, si kembar bekerja di istal kerajaan, dan Drupadi menjadi dayang ratu. Di akhir periode penyamaran ini – di mana selama periode ini mereka berhasil tidak dikenali meski Duryodhana sudah bersusah payah – Pandawa membuka jati diri mereka yang asli. Raja Wirata merasa terkesan; ia menawarkan putrinya untuk dinikahkan dengan Arjuna namun Arjuna menolak karena Arjuna sudah menjaid guru menari bagi sang putri dan murid sama artinya dengan anak. Sang putri kemudian menikah dengan putra Arjuna, Abimanyu.
Di pesta pernikahan, sekutu Pandawa yang besar jumlahnya berkumpul untuk membahas strategi perang. Sementara itu, utusan-utusan telah dikirimkan ke Hastinapura untuk mengembalikan Indraprastha, namun gagal. Krishna sendiri pergi untuk menjalankan misi perdamaian dan gagal. Duryodhana bahkan menolak memberikan wilayah yang hanya seluas mata jarum, apalagi lima desa yang diminta dalam misi perdamaian. Para Kurawa juga mengumpulkan sekutu, bahkan berhasil mengambil sekutu penting Pandawa – paman dari pihak ibu si kembar Pandawa – dengan tipu daya. Perang sudah tidak bisa dihindari lagi.
Perang Kurukshetra dan Akibatnya
Persis sebelum terompet perang ditiup, Arjuna melihat di depan matanya kerabat-kerabatnya: kakek buyutnya, Bisma, yang membesarkannya, gurunya, Kripa dan Drona, saudara-saudaranya, Kurawa, dan untuk sejenak tekadnya melemah. Krishna, prajurit yang teramat hebat, sudah meletakkan senjatanya dan memilih menjadi kusir kereta perang Arjuna. Kepadanya Arjuna berkata, “Bawalah aku kembali, Krishna. Aku tidak sanggup membunuh orang-orang ini. Mereka adalah ayahku, saudaraku, guruku, pamanku, anak-anakku. Apa bagusnya kerajaan yang didapat dengan mengorbankan nyawa mereka?” Kemudian diikutii dengan percakapan filosofis yang saat ini menjadi sebuah buku terpisah – Bhagawad Gita. Krishna menjelaskan ketidakkekalan hidup pada Arjuna, dan pentingnya menjalankan kewajiban dan berpegang teguh pada jalan yang benar. Arjuna mengangkat busurnya lagi.
सुखदुखे समे कृत्वा लाभालाभौ जयाजयौ। ततो युद्धाय युज्यस्व नैवं पापमवाप्स्यप्ति।। Jika kau maju perang dengan memperlakukan dengan setara suka dan duka, keuntungan dan kehilangan, kemenangan dan kekalahan, kau tidak berbuat dosa. [2.38] कर्मण्येवाधिकारस्ते मा फलेषु कदाचन । मा कर्मफलहेतुर्भूर्मा ते सङ्गोऽस्त्वकर्मणि ॥ Kau hanya memiliki hak untuk bekerja; kau tidak memiliki hak untuk meminta hasil buahnya. Janganlah membiarkan hasil yang didambakan menuntun perbuatan-perbuatanmu; tapi jangan pula hanya berpangku tangan. [2.47]
Perang berlangsung selama 18 hari. Keseluruhan pasukan terdiri dari 18 akshauhini, 7 di pihak Pandawa dan 11 di pihak Kurawa (1 akshauhini = 21.870 kereta perang + 21.870 ekor gajah + 65.610 kuda + 109.350 prajurit berjalan kaki). Kedua belah pihak menelan banyak korban. Ketika perang berakhir, Pandawa menjadi pemenang namun kehilangan hamper semua orang yang mereka sayangi. Duryodhana dan semua Kurawa tewas, begitu juga dengan laki-laki dari keluarga Drupadi, termasuk seluruh putra Pandawa. Terungkap bahwa Karna, yang juga gugur, adalah putra Kunti sebelum menikah dengan Pandu, dengan demikian, Karna adalah Pandawa tertua dan pewaris sah takhta. Si orang tua, Bisma, sedang sekarat; Drona, guru mereka, tewas bersama dengan para kerabat entah dari hubungan darah atau pernikahan. Dalam 18 hari, seluruh negeri kehilangan hampir tiga generasi pria. Ini adalah perang dalam skala yang tidak pernah terkihat sebelumnya, ini adalah perang Besar India, Maha-bharat.
Setelah perang, Yudistira menjadi raja Hastinapura dan Indraprastha. Pandawa memerintah selama 36 tahun, setelahnya mereka menyerahkan takhta pada putra Abimanyu, Parikesit. Pandawa dan Drupadi kemudian berjalan kaki menuju Pegunungan Himalaya, tujuannya adalah untuk menghabiskan sisa hidup mereka mendaki ke surga. Satu demi satu, mereka jatuh dalam perjalanan terakhir mereka dan roh mereka naik ke surga. Bertahun-tahun kemudian, putra Parikesit menggantikan ayahnya sebagai Raja. Ia mengadakan upacara pengorbanan besar, di mana kisah ini diceritakan untuk pertama kalinya oleh seorang murid Wiyasa bernama Wesampayana.
Warisan
Sejak saat itu, kisah ini sudah berkali-kali diceritakan kembali, dikembangkan, dan diceritakan lagi. Sampai saat ini Mahabharata masih populer di India. Kisah ini sudah diadaptasi dan disusun ulang dalam bentuk kontemporer pada film dan sandiwara panggung. Anak-anak masih dinamai sesuai sesuai dengan tokoh-tokoh dalam epos ini. Bhagawad Gita adalah salah satu teks Hindu yang paling suci. Di luar India, kisah Mahabharata juga populer dalam budaya Asia Tenggara yang dipengaruhi Hinduisme, seperti di Indonesia dan Malaysia.