Candi Prambanan (Bahasa Jawa: Rara Jonggrang) adalah suatu kawasan candi Hindu dari abad ke-9 Masehi (M) yang berlokasi dekat Bokoharjo di pulau Jawa, Indonesia. Candi Prambanan adalah candi Hindu terbesar di Indonesia dan salah satu yang terbesar di Asia Tenggara. Candi tersebut diperuntukan bagi Trimurti dalam ajaran Hindu — Brahma, Wisnu, dan Siwa — maka arsitektur candi Prambanan mencerminkan konsepsi ajaran Hindu tentang alam semesta dalam bentuk dan rancangannya. Meski candi ini begitu megah dan kaya akan hiasan di bagian luarnya, penduduk Jawa menelantarkan candi Prambanan dalam kurun waktu 100 tahun setelah selesai dibangun sekitar tahun 950 M. Seiring berjalannya waktu dan kerusakan candi Prambanan akibat bencana alam, penduduk Jawa tidak pernah melupakan keberadaannya, dan candi Prambanan tetap menjadi bagian dari cerita rakyat Jawa. Penelitian dan pemugaran candi Prambanan dimulai pertama kali pada awal abad ke-20 M, lalu kawasan candi tersebut ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO pada tahun 1991 M. Pada masa kini, candi tersebut merupakan salah satu situs bersejarah yang sering dikunjungi di Indonesia.
Sejarah & Geografi
Prambanan terletak sejauh 17 km (11 mil) sebelah timur laut kota Yogyakarta dekat perbatasan antara provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah di pulau Jawa. Kawasan candi tersebut terletak sejauh 0.5 km di sebelah selatan desa Prambanan.
Periode pembangungan Prambanan dan candi-candi di sekitarnya sendiri diliputi legenda dan misteri. Pengaruh kebudayaan dan agama yang kuat dari India ke wilayah yang sekarang menjadi Indonesia dimulai sekitar abad pertama Masehi. Pengaruhnya berkembang pesat sejak sekitar tahun 400 M. Para pedagang beragama Hindu dan Buddha yang menetap di kawasan tersebut kemudian menikah dengan penduduk setempat sehingga dapat membangun hubungan perniagaan antara penduduk Jawa, India, dan seluruh Asia Tenggara. Selama berabad-abad penduduk Jawa melakukan akulturasi budaya dan agama dari India kuno dengan budaya dan kepercayaan mereka sendiri.
Beberapa sejarawan berpendapat bahwa pembangunan candi Prambanan diprakarsai oleh Rakai Pikatan (berkuasa 830-860 M?) antara tahun 840-850 M. Pembangunan dan perancangan kawasan candi utama juga dilakukan pada masa pemerintahannya, dan bangunan setelahnya dibangun pada masa raja-raja penerusnya yakni Rakai Kayuwangi (berkuasa 850-898 M), Balitung (berkuasa 899-911 M), Daksa ( berkuasa 910-919 M), dan Tulodong (berkuasa 919-924 M). Pada masa pembangunan candi tersebut, penduduk setempat juga membelokkan aliran sungai di dekatnya agar melalui kawasan candi tersebut. Rakai Pikatan dan penerusnya berasal dari dinasti Sanjaya yang beragama Hindu, sehingga menjadi saingan dari dinasti Sailendra yang beragama Buddha dalam memegang kekuasaan "Medang" atau kerajaan Mataram di Jawa Tengah. Perlu diperhatikan juga bahwasanya pembangunan candi Borobudur yang bercorak Buddha dilakukan ketika dinasti Sailendra berkuasa. Karena candi Borobudur terletak sejauh 19 km (12 mil) saja dari candi Prambanan, beberapa sarjana berpendapat bahwa pembangunan candi Prambanan bertujuan sebagai respon di bidang seni, politik, dan agama terhadap candi Borobudur buatan dinasti Sailendra. Bahkan disebutkan pula bahwa istri Rakai Pikatan yang bernama Pramodhawardhani (820-860 M) adalah putri dari raja Samaratungga (berkuasa 812-833 M) yang mungkin sempat memerintah ketika Borobudur dibangun. (Meskipun demikian, sejarawan Jawa yang lainnya berpendapat bahwa dinasti "Sailendra" dan "Sanjaya" merupakan satu keluarga dan melihat bahwa agama Buddha dan Hindu yang dominan tergantung agama mana yang dianut oleh masing-masing penguasa)
Menurut beberapa sumber dari Khmer (Kamboja), Raja Jayawarman II (berkuasa 802-835 M) sekaligus pendiri Kemaharajaan Khmer (802-1431 M) menghabiskan banyak waktunya tinggal di Jawa hingga diangkat sebagai Gubernur Indrapura oleh Samaratungga yang kemudian menjadi ibu kota Champa sekitar tahun 875 M. Disebutkan pula bahwa Jayawarman mengunjungi candi Borobudur dan Prambanan yang akhirnya memberinya inspirasi untuk membangun kota Angkor Wat dengan megah. Hal ini cukup mungkin terjadi karena dinasti Sailendra dan Sanjaya melalui kekuatan talasokrasi mereka memberi pengaruh besar dalam hal politik dan budaya terhadap Jawa, Sumatra, Malaya, dan Kamboja bagian selatan pada abad ke-8 sampai ke-10 M.
Peristiwa ditinggalkannya candi Prambanan mirip seperti yang terjadi pada candi Borobudur. Ketika pusat kekuasaan berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada masa pemerintahan Mpu Sindok (berpindah 928 M), maka candi Prambanan semakin kehilangan posisi pentingnya baik secara politik maupun budaya bagi penduduk Jawa. Dinasti Sanjaya berhasil merebut kekuasaan dari dinasti Sailendra sehingga hampir seluruh bagian pulau Jawa berada di bawah kekuasaan dinasti Sanjaya. Erupsi Gunung Merapi pada abad ke-10 M dan banyak terjadinya gempa bumi mungkin saja berpengaruh terhadap daya tarik candi Prambanan sebagai tempat ibadah sekaligus ziarah bagi pemeluk agama Hindu.
Seiring berjalannya waktu, kondisi candi Prambanan semakin rusak hingga dikelilingi rimba. Penjelajah asal Belanda yang bernama C. A. Lons pernah "menemukan kembali" candi Prambanan pada tahun 1733 M dan melaporkannya kepada pejabat kolonial Belanda, namun pada kenyataannya candi tersebut tidak pernah dilupakan oleh penduduk Jawa karena tetap mereka ingat melalui babad, mitos, dan legenda. Sebuah kisah legenda Jawa yang terkenal adalah kisah Rara Jonggrang yang berlatar di candi Prambanan dan candi-candi di sekitarnya. Dalam kisah tersebut, seorang putri bangsawan Jawa bernama Rara Jonggrang dikutuk menjadi batu oleh suaminya yang kejam. Patung batu putri bangsawan tersebut dikatakan sebagai perwujudan dewi Durga dari agama Hindu dan patung tersebut terletak di dalam candi Siwa pada sisi utara di kawasan candi Prambanan. Pemugaran candi tersebut dimulai pada tahun 1885 M dan dipercepat pada tahun 1918 M. Upaya pemugaran ini dihentikan ketika Indonesia diserbu bala tentara Jepang pada tahun 1941 M saat Perang Dunia II. Kemudian pada tahun 1953 M, candi Siwa ditahbiskan kembali oleh para pemeluk agama Hindu hingga candi Prambanan akhirnya dipugar kembali setelah gempa bumi di Yogyakarta pada tahun 2006 M. Upaya ekskavasi arkeologis sekaligus pemugaran secara berselang waktu terus berlanjut di candi Prambanan hingga saat ini.
Seni & Arsitektur
Dibangun di atas Lembah Prambanan yang subur, candi Prambanan adalah salah satu dari 30 candi yang dibangun antara tahun 750-950 M dalam area seluas 30 km persegi (11.5 mil persegi). Di sebelah utara candi Prambanan sejauh beberapa kilometer terdapat tiga candi bercorak Buddha yang dibangun pada abad ke-8 M — candi Lumbung, Bubrah, dan Sewu — sementara di sebelah selatan dan tenggara candi Prambanan sejauh 2.5 km terdapat reruntuhan candi Ratu Boko dan Sojiwan yang juga bercorak Buddha dari abad ke-9 M. Lalu, di sebelah barat candi Prambanan sejauh 3 km terdapat candi bercorak Buddha yakni candi Sari (abad ke-8 M), Kalasan (sekitar 778 M), dan Sambisari (abad ke-9 M) yang diperuntukan bagi dewa Siwa.
Candi Prambanan terdiri dari enam candi yang semuanya didirikan pada lahan yang ditinggikan serta meliputi candi-candi lebih kecil sebanyak 224 candi yang telah menjadi reruntuhan. Semakin jauh jarak sebuah candi dari kawasan utama maka semakin kecil pula ukuran dan ruang yang tersedia bagi candi itu. Dinding kecil mengelilingi candi-candi yang lebih kecil sama seperti dinding besar yang mengelilingi kawasan utama candi. Candi Prambanan memiliki sebuah candi utama setinggi 47 m (154 kaki) — diperuntukan bagi dewa Siwa — yang terletak dalam suatu kawasan bersama bangunan candi lainnya sehingga membentuk konsep lingkaran mandala. Candi Prambanan seperti juga Borobudur melambangkan tingkatan langit dan dibagi ke dalam tiga zona candi yang masing-masing berbeda. Dalam pengertian secara horizontal dan vertikal, candi Prambanan melambangkan konsepsi agama Hindu akan alam Surga.
Candi terbesar yang berjumlah tiga dalam kawasan utama diperuntukan bagi Trimurti (tiga dewa utama) dalam agama Hindu. Candi Siwa menjadi candi yang paling terkemuka dengan candi Brahma yang terletak di sebelah selatan dan candi Wisnu di sebelah utara dari candi Siwa. Dalam arah lurus yang sejajar dari candi-candi utama tersebut terletak tiga candi yang lebih kecil dan diperuntukan bagi hewan mitologi yang memberikan perlindungan, pertemanan, dan angkutan. Ketiga hewan tersebut yakni: Garuda sebagai hewan mitologis bersayap, Hamsa sang angsa, dan Nandi sang banteng.
Candi Siwa adalah candi yang paling penuh hiasan di antara ketiga candi utama dan terdapat beberapa pahatan yang indah pada dinding bagian dalamnya yang menggambarkan adegan dari kisah epik Ramayana. Candi tersebut juga memiliki empat ruangan yakni ruang suci bagian dalam yang menyimpan patung dewa Siwa, sementara ruangan lain di dekatnya menyimpan patung berukuran besar dari putra dewa Siwa yakni Ganesha. Ruangan sebelah selatan dari candi Siwa diperuntukan bagi Batara Guru yang menurut penduduk Jawa beragama Hindu adalah perwujudan dari dewa Siwa yang memberikan ramalan, ganjaran, kemampuan lainnya bagi manusia. Terdapat pula sebuah patung suci berupa banteng yang menjadi penjaga sekaligus kendaraan (wahana) bagi dewa Siwa yakni Nandi yang terletak di depan candi Siwa. Pahatan dinding pada candi Brahma merupakan lanjutan kisah Ramayana, sementara candi Wisnu dihiasi pahatan yang menceritakan kisah epik palagan-palagan dari Kresna di sepanjang dindingnya.