Oda Nobunaga adalah pemimpin militer paling terkemuka dari Jepang dari tahun 1568 hingga 1582, Nobunaga, bersama dua orang penerus langsungnya, Toyotomi Hideyoshi (1537-1598) dan Tokugawa Ieyasu (1543-1616), dikreditkan namanya sebagai pemersatu Jepang pada abad pertengahan di paruh kedua abad ke-16. Seorang jenderal yang inovatif yang juga mempergunakan diplomasi serta taktik militer yang superior dan persenjataan untuk menghalau lawan-lawannya, panglima perang yang terkenal karena hasratnya yang membara untuk menaklukkan segalanya.
Naik ke Tampuk Kekuasaan
Terlahir dari keluarga administrator lokal di tahun 1534, ayah Nobunaga, Oda Nobuhide (1510-1551) adalah seorang penguasa feodal kecil atau daimyo di Provinsi Owari, Jepang tengah. Nobunaga pertama kali menonjol, ketika, setelah kematian ayahnya, ia menjadi tuan dari istana Nagoya. Dengan menggunakan istana tersebut sebagai basisnya, Nobunaga sukses melebarkan dominasinya atas daimyo lawan di tahun 1555 ketika ia meratakan kota Kiyosu dan di tahun 1559 saat ia mangambil dan menghancurkan benteng Iwakura. Reputasi sang panglima perang akan keganasannya semakin diperkuat di tahun 1557 ketika ia memerintahkan pembunuhan atas adik laki-lakinya sendiri. Pada tahun 1560 di Perang Okehazama, panglima perang dari Mikawa, Imagawa Yoshimoto (1519-1560), kalah dan dibunuh saat pasukan Nobunaga yang besar melakukan pengepungan mendadak terhadap musuh. Nobunaga sedang berada di jalan menjadi pemimpin militer paling ditakuti di Jepang.
Nobunaga adalah subyek dari dua biografi dalam sejarah Jepang, yang pertama adalah Shincho koki karya Ota Gyuichi, yang diterbitkan di tahun 1598, sementara yang kedua, Shincho Ki , diterbitkan di tahun 1622 dan dikompilasi oleh Oze Hoan sebagai tambahan dari karya yang pertama. Kedua karya ini menjunjung tinggi subyeknya, dan seperti biografi anumerta sejenis di periode abad pertengahan, melebih-lebihkan perbuatan daimyo terkenal juga memasukkan episode-episode legendaris yang kemungkinan tidak pernah terjadi sama sekali. Misionaris dan sejarawan Yesuit, Luis Frois (1532-1597), di lain pihak, memberikan deskripsi yang lebih terbuka tentang Nobunaga dalam petikan dari surat yang ditulis tahun 1569 di bawah ini:
Seorang pria tinggi, kurus, berjenggot tipis, dengan suara yang jernih, terbiasa dengan senjata, tangguh, menyukai pelaksanaan keadilan dan pengampunan, angkuh, dan amat sangat mencintai kehormatan, sangat tertutup akan apa yang ia tentukan, sangat cerdik dalam siasat perang, jarang sekali, jika pernah, menurut pada teguran atau pada nasihat bawahannya, ditakuti dan dihormati oleh semua orang sampai ke tingkat yang ekstrim. Tidak minum anggur. Ia adalah tuan yang keras: mencemooh semua Raja dan Pangeran Jepang dan berbicara pada mereka melalui bahunya seakan mereka inferior dan sepenuhnya dipatuhi oleh semua orang sebagai tuan yang mutlak.
(Keen, 1159)
Penyatuan Jepang
Pada akhirnya Nobunaga mengambil alih ibu kota Heiankyo (Kyoto) di tahun 1568 di mana ia mendudukkan Ashikaga Yoshiaki sebagai shogun bonekanya, yang diasingkan lima tahun kemudian karena berkonspirasi dengan musuh-musuh Nobunaga, dan akhirnya mengakhiri keshogunan Ashikaga yang sudah berkuasa sejak 1388. Pada tahun 1579 dan sekarang menguasai seluruh Jepang pusat, Nobunaga mendirikan markas baru di istana Azuchi yang menakjubkan di luar ibu kota di pinggir Danau Biwa. Tidak ada yang tersisa dari istana ini kecuali fondasi batunya, namun istana ini merupakan yang pertama yang memiliki menara bertingkat banyak yang menjadi kebiasaan bagi istana-istana Jepang pada abad pertengahan.
Nobunaga berhasil mengalahkan panglima-panglima perang lawannya dan memperluas wilayah kekuasaannya berkat pasukannya yang besar yang dipersenjatai dengan baik dan termasuk juga jenderal Toyotomi Hideyoshi yang ahli (yang nantinya menjadi penerus Nobunaga). Nobunaga adalah seorang inovator karena ia adalah salah satu pemimpin Jepang yang mengadopsi penggunaan senjata api. Sekitar tahun 1549, ketika Nobunaga hanyalah komandan berusia 15 tahun, ia menciptakan pasukan khusus yang terdiri dari 500 orang yang masing-masing membawa senapan pemantik. Unit ini lebih dulu dikirim ke medan perang dari pasukan lain dan mereka terbukti menjadi penentu dalam pengepungan istana Muraki di tahun 1554 dan di Perang Anegawa di tahun 1570. Melihat keefektifannya, pasukan ini ditambah menjadi 3000 orang dan sekali lagi membawa kemenangan, kali ini di Pertempuran Nagashino di tahun 1575. Nobunaga menggunakan senjata barunya dengan baik, dan adalah yang pertama melakukan rotasi jajaran pasukan senapan untuk menciptakan tembakan api yang terus-menerus. Pasukan Nobunaga juga adalah yang pertama yang masing-masing prajuritnya, termasuk prajurit infanteri, mengenakan baju zirah lengkap. Wilayah-wilayah yang diperoleh Nobunaga diberikan kepada komandan-komandan setianya untuk dipimpin, dan tanah-tanah yang diambil dari para panglima perang sering dibagikan kembali dan direlokasi untuk memutuskan ikatan lama loyalitas.
Dalam rangka memepertahankan kekuasaannya, Nobunaga berusaha mengurangi penghasilan daimyo lawannya dengan menghilangkan biaya tol di semua jalan. Ia memperbesar pundi-pundinya dengan mencetak mata uang Jepang yang pertama sejak tahun 958 dan membuat standarisasi nilai tukar antara semua koin yang berbeda yang digunakan. Sumber uang menguntungkan lain adalah membebaskan pedagang dari serikat mereka dan alih-alih meminta mereka membayar biaya pada negera. Dari tahun 1571 survei tanah yang ekstensif dimulai untuk membuat sistem pajak lebih efisien. Aturan lainnya adalah menyita semua senjata yang dimiliki oleh rakyat biasa mulai dari tahun 1576 dan setelahnya, yang disebut ‘perburuan pedang’. Sementara itu, Nobunaga terus memperluas wilayahnya, tujuannya adalah tidak kurang dari mempersatukan Jepang. Tidak sia-sia panglima perang ini membubuhkan cap pribadinya ‘Tenka Fubu’ atau ‘Dunia Bersatu di Bawah Pemerintahan Militer’.
Sikap terhadap Agama
Dalam strategi lain untuk melemahkan lawan-lawannya, Nobunaga tidak segan menghancurkan kuil Buddha manapun dan mengeksekusi pendeta-pendeta Buddha berpengaruh yang berasosiasi atau bersekutu dengan lawannya. Contoh yang paling terkenal untuk kebijakan ini adalah penghancuran kompleks biara Enryakuji di G. Hiei yang keramat di dekat Kyoto tahun 1571. Nobunaga tidak menyukai kekuatan pada biara terebut dan banyaknya pasukan biksu di sana yang masih turun gunung kapanpun mereka merasa tidak cukup menerima bagian mereka dari negara. Pasukan Nobunaga menegpung lereng G. Hiei dan menyalakan api di hutan yang melalap habis kuil tersebut dan membunuh 25000 pria, wanita dan anak-anak. Kuil Enryakuji menjadi lebih baik di bawah penerus Nobunaga dan dikembalikan pada kejayaannya yang semula dari tahun 1595.
Kuil-benteng Buddha lain yang berpengaruh, Ishiyama Honganji, di Osaka, diluluh lantakkan di tahun 1580 oleh armada kapal bermeriam milik Nobunaga. Nantinya Toyotomi Hideyoshi akan membangun istana Osaka yang terkenal di reruntuhannya. Akibat dari serangan atas kuil-kuil Buddha penting adalah berakhirnya pengaruh mereka pada pemerintahan dan kekuasaan regional, posisi menguntungkan yang mereka nikmati selama periode abad pertangahan.
Mengenai agama lain, Nobunaga mendukung misionaris-misionaris Kristen di Jepang karena menurutnya kontak dengan orang Eropa menguntungkan; serta membawa perdagangan dan teknologi seperti senjata api yang ia gunakan untuk menaklukkan. Sang panglima perang ini juga senang dipuja-puja sebagai manusia agung dan membangun sebuah kuil untuk tujuan tersebut. Dalam strategi lain untuk membangun kultus kepemimpinan untuk dirinya sendiri, ia mendeklarasikan hari ulang tahunnya sebagai hari libur nasional. Anehnya, Nobunaga tidak tertarik dengan pakaian yang mewah dan meski selera berpakaiannya tidak biasa, ia menciptakan tren, seperti yang diutarakan oleh seorang saksi mata:
Ia selalu berjalan mengenakan sabuk dan duduk di atas kulit harimau dan mengenakan pakaian yang yang kasar dan kaku; mengikuti contohnya semua orang mengenakan kulit dan tidak seorangpun berani muncul di hadapannya dalam pakaian istana. (dikutip dalam Mason, 185)
Nobunaga mempromosikan seni, yang terkenal adalah drama Kowaka dan Upacara Minum Teh Jepang, dengan menggunakan keterampilan ahli nomor satu yang diakui dalam bidang yang terakhir, Sen no Rikyu (1522-1591).
Pengkhianatan dan Kematian
Pada 21 Juni 1582, saat Nobunaga hendak berangkat kampanye ke Jepang barat ia menemui ajalnya di kuil Honno-Ji (Honnoji) di Heiankyo. Sang panglima perang dikhianati oleh salah satu sekutu bawahannya, Akechi Mitsuhide, yang juga pejabat penghubung antara Nobunaga dan shogun bonekanya, Yoshiaki. Pada episode yang dikenal sebagai Peristiwa Honnoji, Mitsuhide, untuk alasan yang tidak diketahui, melancarkan serangan mendadak pada posisi Nobunaga, dan berdasarkan salah satu versi, saat penangkapannya sudah jelas, pria yang menguasai separuh Jepang ini melakukan bunuh diri. Dalam versi lain, sang panglima perang tewas dalam api yang membakar habis kuil tersebut – ada yang mengatakan dalam rangka menebus tindakannya yang membakar kuil Enryakuji. Putra dan pewaris terpilih Nobunaga, Nobutada, ikut tewas.
Kematian Nobunaga dibalaskan ketika jenderalnya Toyotomi Hideyoshi mengalahkan Mitsuhide pada Perang Yamazaki dan mendeklarasikan dirinya sebagai penerus Nobunaga. Hideyoshi melanjutkan rencana pendahulunya untuk menyatukan Jepang, sebuah proses yang tidak selesai hingga pemerintahan penerus Hideyoshi sendiri, Tokugawa Ieyasu, yang mendirikan keshogunan Tokugawa dari tahun 1603 yang akhirnya memberikan 250 tahun kedamaian bagi Jepang. Seperti kata pepatah lama Jepang, “Nobunaga yang mengaduk kue, Hideyoshi memanggang, dan Ieyasu yang makan” (Beasley, 117).
This content was made possible with generous support from the Great Britain Sasakawa Foundation.