Aleksander III dari Makedonia, atau lebih dikenal dengan sebutan Aleksander Agung (21 Juli 356 SM – 10 atau 11 Juni 323 SM), adalah anak dari Raja Philip II dari Makedonia. Aleksander naik tahta sebagai raja pasca mangkatnya sang ayah pada 336 SM dan beranjak untuk menaklukan sebagian besar wilayah dunia yang dikenal pada masanya. Gelaran 'Agung' setelah namanya menyatakan pengakuan baik atas kejeniusan militer maupun kecakapan diplomatis Aleksander ketika berhadapan dengan bermacam ragam populasi asli dari wilayah yang ditaklukkan. Selain pengakuan tersebut, Aleksander juga memiliki reputasi sebagai penyebar budaya, bahasa, serta pemikiran (filosofis) Yunani di sepanjang wilayah Asia Kecil, Mesir, Mesopotomia hingga India, sekaligus sebagai penggerak awal dimulainya era yang disebut sejarah dengan “Dunia Helenis (Hellenistic World)”
Masa Muda Aleksander
Masa kecil Aleksander disibukkan dengan belajar cara bertempur dan berkuda serta berlatih bermacam uji ketahanan tubuh seperti baris paksa (forced marches, latihan militer dalam bentuk berjalan atau berbaris menempuh jarak panjang sambil membawa beban berat) di bawah bimbingan Leonidas dari Epirus (masih kerabat sang ibu, Olimpias). Sang ayah, Raja Philip, sejak awal sudah mencita-citakan dan mengkader Aleksander sebagai calon raja yang halus budi, karenanya menyewa Lisimakhus dari Akarnania untuk mendidik anaknya belajar membaca, menulis dan bermain lira (alat musik tradisional Yunani berbentuk seperti harpa). Pembelajaran inilah yang memicu dan memupuk kecintaan Aleksander pada membaca dan musik di sepanjang hayatnya. Pada usia 14 tahun, Aleksander diperkenalkan dengan filsuf Yunani, Aristoteles, yang disewa ayahnya sebagai tutor pribadi bagi sang anak. Calon penakluk dunia ini belajar di bawah bimbingan Aristoteles selama tiga tahun dan keduanya tetap menjalin korespondensi sekalipun Aleksander disibukkan dengan kampanye militernya di kemudian hari.
Di satu sisi, kuatnya pengaruh bimbingan Aristoteles bakal tercermin dari prilaku Aleksander ketika berurusan dengan berbagai bangsa yang ditaklukkannya, yakni Pemimpin Agung ini tidak pernah, bahkan untuk sekali saja, memaksa bangsa atau budaya asli apapun yang mendiami wilayah taklukan tersebut untuk menganut atau sekedar mengadopsi budaya Yunani. Alih-alih, Aleksander hanya memperkenalkan budayanya, sama persis dengan metode Aristoteles dalam memperkenalkan ajarannya pada semua muridnya. Pada sisi lain, pengaruh didikan militer yang keras dari Leonidas terlihat dari tingginya stamina dan daya tahan tubuh Aleksander serta kemahirannya berkuda. Saat baru berusia 11 atau 12 tahun, Aleksander bahkan sudah berhasil menjinakkan Buchepalus, kuda paling terkenal dan paling liar hingga dijuluki 'yang tak-terjinakkan (the untameable)'. Namun, terlepas dari seberapapun besarnya pengaruh para mentornya, Aleksander sendiri tampaknya sudah ditakdirkan lekat dengan segala kebesaran dan keagungan bahkan semenjak lahir. Inipun belum menghitung kenyataan bahwa Aleksander memiliki seorang ayah sekaligus raja dengan prestasi luar biasa dan bakal banyak mendasari kesuksesan Aleksander di masa mendatang. Sejarawan Diodorus Sicurus memberikan catatan terkait Philip, ayah Aleksander:
Selama dua-puluh-empat tahun masa pemerintahannya sebagai Raja Makedonia, Philip mampu membangun kerajaannya menjadi kekuasaan paling hebat di Eropa bermodal sumber daya yang amat terbatas …Philip mampu membuat proyeksi untuk melengserkan Kekaisaran Persia, mendaratkan pasukannya di Asia, dan sedang dalam misi membebaskan segenap komunitas Yunani ketika sang Takdir memaksa menjemput ajalnya – meskipun demikian, dia telah mewariskan kekuatan militer dalam tataran dan kualitas yang unggul hingga membisakan anaknya, Aleksander, menggulingkan Kekaisaran Persia tanpa bantuan sekutu satupun. Sungguh prestasi ini bukan semata anugrah, melainkan murni kerja keras Philip mengingat raja ini memiliki kejelian militer jauh di atas rata-rata, keberanian luar biasa dan kecerdasan amat gemilang.
Meskipun jelas besarnya pengaruh dari sang ayah, Aleksander lebih memilih mengartikan kesuksesannya sebagai takdir ilahiah. Dia mentahbiskan diri sebagai anak Zeus, menetapkan status 'setengah dewa' serta merunutkan garis keturunan hingga pada dua pahlawan favoritnya dari masa silam, Achilles dan Herkules, sekaligus menjadikan duo ksatria kuno tersebut teladan bagi prilakunya sendiri. Kepercayaan atas anugrah ilahiah pada diri Aleksander sebenarnya sudah ditanamkan sejak kecil oleh Olimpias yang mengisahkan kelahiran anaknya sebagai mukjizat kehamilan suci (virgin birth) tersebab dibuahi Zeus. Hari kelahiran Aleksander sendiri memang disertai beberapa tanda atau kejadian luar biasa seperti bintang benderang yang bersinar di langit Makedonia pada malam harinya serta kehancuran Kuil Artemis di kota Efesus. Plutarch mencatatkan:
Aleksander lahir pada tanggal 6 bulan Hecatombaeon, atau bulan Lous menurut lidah bangsa Makedonia, bertepatan dengan hari terbakarnya kuil Diana di Efesus; dan sayangnya, peristiwa ini digunakan sebagai alat penebar kabar bohong oleh Hegesias dari Magnesia. Dia menyebutkan kuil Diana musnah terbakar gegara sang Dewi sedang tidak berada di tempat karena membantu kelahiran Aleksander. Juga semua tukang nujum dari Timur yang kebetulan berada di Efesus, setelah meyakini reruntuhan kuil tersebut adalah pertanda awal dari bencana, sontak berlarian ke penjuru kota seraya menampari wajah mereka sendiri sambil berteriak bahwa hari tersebut telah melahirkan sesuatu yang bakal terbukti fatal dan membawa kehancuran bagi seluruh Asia. (Plutarch, Risalah Hidup)
Meskipun kelahiran ajaib Aleksander banyak didokumentasikan para sejarawan, hanya sedikit yang diketahui tentang masa muda Aleksander, lebih dari cerita kematangan pikirannya semenjak kecil (pada usia tujuh tahun, Aleksander dikatakan telah mewawancarai para duta yang berkunjung ke negaranya tentang tapal-batas dan kekuatan Kekaisaran Persia), para guru pribadinya, serta teman masa kanak-kanaknya. Beberapa kawan seperti Cassander, Ptolemi, dan Hephaestion bakal tetap menjadi sobat erat sekaligus jendral dari pasukan Aleksander. Kawan lainnya, Callisthenes, cucu-ponakan Aristoteles yang datang ke istana Makedonia menemani sang filsuf, bakal menjabat sebagai sejarawan istana dan mengikuti kampanye militer Aleksander dalam kapasitas sebagai ahli filsafat. Sementara itu, Hephaestion tetap menjadi teman terdekat dan terbaik di sepanjang hayat Aleksander, sekaligus komandan tertinggi setingkat di bawah sang Jendral Agung. Terkait masa mudanya, sejarawan Worthington mencatatkan bahwa Aleksander “menerima seluruh pendidikannya di rumah sebagaimana tradisi bangsa Makedonia dan bakal terpajan (serta nantinya ikut serta) dengan berbagai bentuk kontes minum-minum sebagai bagian dari kehidupan istana Makedonia” namun, selain dari hal tersebut, “yang mengejutkan adalah betapa sedikit yang kita ketahui terkait masa remaja Aleksander” (33).
Chaeronea Dan Kampanye Militer Awal
Kecakapan militer Aleksander terbukti untuk pertama kali dalam Perang Chaeronea pada 338 SM. Sekalipun baru berusia 18 tahun, dia mampu membantu membalik situasi perang hingga menjamin kemenangan yang menentukan bagi pasukan Makedonia atas pasukan sekutu yang terdiri dari berbagai negara-kota (city-states) Yunani. Ketika ayahnya, Philip II, dibunuh pada 336 SM, Aleksander segera naik tahta dan mengingat semua negara-kota Yunani saat itu telah disatukan di bawah panji kekuasaan Makedonia pasca tunduknya Chaeronae, Aleksander bergegas melanjutkan kampanye militer yang sebelumnya telah digagas ayahnya sendiri: penaklukan Kekaisaran Persia yang perkasa. Sejarawan Worthington menyatakan:
(Karya) Homer adalah 'kitab suci' Aleksander dan dia juga membawa edisi karya Aristoteles saat berangkat menuju Asia…Di sepanjang kampanye militernya, Aleksander selalu berusaha keras mengetahui setiap detil yang bisa diketahui tentang semua wilayah yang dilalui. Dia bahkan sengaja membawa 'parade' ilmuwan yang terdiri dari ahli ilmu tanaman (botany), ilmu hayat (biology), ilmu binatang (zoology) dan ilmu cuaca (meteorology), hingga pakar ilmu bentang-wilayah (topography), khusus untuk merekam semua detil tersebut. Hasrat Aleksander yang begitu menggebu untuk belajar, termasuk keinginan kuat untuk memperoleh informasi yang direkam dalam format seilmiah mungkin, sangat bisa jadi berakar dari ajaran dan antusiasme Aristoteles. (34-35).
Berbekal pasukan berkekuatan 32,000 infantri dan 5,100 kavaleri, Aleksander menyebrang menuju wilayah Asia Kecil pada 334 SM dan menaklukan kota Baalbek seraya menamai kembali kota tersebut sebagai Heliopolis. Aleksander juga berhasil membebaskan Efesus, kota Yunani yang berada di bawah cengkraman kekuasaan Persia, dan pada kesempatan yang sama juga menawarkan jasa untuk membangun kembali Kuil Artemis, tidak lain dan tidak bukan adalah kuil yang rusak parah akibat dibakar pada malam kelahirannya sendiri, namun itikad baik ini ditolak masyarakat kota Efesus. Pada 333 SM, pasukan Aleksander berhasil mengalahkan tentara Raja Darius III dari Persia yang berjumlah lebih besar dalam Perang Issos dan membuat Raja Darius melarikan diri dari medan pertempuran meninggalkan sanak-keluarganya. Aleksander terus melanjutkan derap pasukannya merangsak Sidon, kota bangsa Phoenisia, sebelum berlanjut menaklukan kota Aleppo. Pada 332 SM, Aleksander berhasil menguasai Siria dan tahun berikutnya, wilayah Mesir pada 331 SM sekaligus mendirikan kota pelabuhan terkenal, Aleksandria, di semenanjung Mesir. Di hadapan Penujum Siwa, yang mendapatkan julukan (eponim) mengikuti oasis terkenal, Siwa, di wilayah Mesir, Aleksander ditasbihkan sebagai putra dari Dewa Zeus-Ammon.
Pun pasca penaklukan Mesir, Aleksander tidak serta-merta memaksakan gagasan terkait kebenaran, agama ataupun sekedar norma pribadinya kepada penduduk Mesir, sepanjang mereka tetap bersedia membuka jalur suplai untuk menjamin jatah ransum dan perlengkapan militer pasukannya (kebijakan personal ini menyatakan aspek penting perihal kecakapan Aleksander dalam mengatur wilayah penaklukan yang luas. Sayangnya, kebijakan ini bakal gagal diterapkan atau bisa jadi sengaja diabaikan para penerusnya). Tentu saja kebijakan yang sama ini tidak lantas berarti Aleksander segan menumpas segala bentuk pemberontakan dengan bengis, atau sekedar ragu melenyapkan para pembangkang dengan kejam. Begitu rencana tata-kota Aleksandria tuntas digarap, Aleksander meninggalkan Mesir untuk meneruskan kampanya militernya dan dengan mudah menaklukkan berbagai wilayah kerajaan Phoenisia terkecuali untuk satu kota-pulau (island city) Tyre, yang memaksanya melancarkan taktik pengepungan total (under siege). Sedemikian kerasnya tekad Aleksander menaklukkan Tyre sampai-sampai dia memerintahkan bala tentaranya membangun jalur-lintas (causeway) dari daratan utama menuju pulau sebagai sarana menyebrangkan mesin-mesin artileri untuk mengepung kota tersebut. Pada gilirannya, jalur-lintas ini bakal terus menimbun lanau (silt) dan lempung (earth) serta menjelaskan alasan kota Tyre tersambung menjadi satu dengan daratan utama yang saat ini menyatakan bagian dari wilayah Lebanon modern. Perihal masyarakat Tyre yang berkepala batu melawannya, Aleksander membantai sebagian besar penduduk kota dan sisanya yang sintas dijual sebagai budak. Kebijakan militer terkhusus kota Tyre ini merupakan contoh utama dan gamblang dari wujud kebengisan watak Aleksander dalam menghadapi musuh.
Kampanye Militer Persia
Pada 331 SM, Aleksander kembali berhadapan dengan Raja Darius III di medan pertempuran wilayah Gaugamela juga dengan jumlah pasukan Persia yang jauh lebih besar. Lagi-lagi, Aleksander berhasil mengalahkan Darius dengan mutlak dan sekali lagi memaksa sang Raja melarikan diri dari medan pertempuran. Pasca kekalahan ini Raja Darius bakal dibunuh dan menemui ajal di tangan jendral sekaligus sepupunya sendiri, Bessus. Dikabarkan bahwa tindak pembunuhan ini justru sangat disesalkan notabene oleh Aleksander sendiri. Jasad Raja Darius dimakamkan dengan penghormatan tertinggi serta anggota keluarganya yang bersintas diperlakukan penuh hormat. Aleksander lantas mentasbihkan diri sebagai Raja Asia dan melanjutkan kampanye pasukannya menuju kota akbar, Susa, yang menyerah tanpa syarat maupun perlawanan.
Dari kota Susa, Aleksander bergerak menuju kota Persepolis. Menurut sejarawan kuno Diodorus Siculus (dan beberapa sejarawan lain) pada 330 SM Aleksander adalah orang pertama yang mulai membakar istana pusat dan sebagian besar bangunan kota sebagai bentuk balas dendam atas pembakaran kota Akropolis yang dilakukan Raja Xerxes ketika bangsa Persia menginvasi Yunani pada 480 SM. Juga diriwayatkan bahwa tindak pembakaran ini bermula dari satu pesta minum manakala Thais, wanita berkebangsaan Athena juga kekasih jendral Ptolemi, mencetuskan gagasan yakni bakal menjadi satu aksi balas dendam yang sempurna jika kota tersebut dibakar “oleh tangan-tangan para wanita”. Thais dikabarkan sebagai orang kedua yang melempar obor tepat setelah Aleksander melempar obornya untuk memulai membakar kota. Meninggalkan Persepolis dalam purukan debu dan onggokan puing seraya membawa barang jarahan dalam jumlah tak kepalang tanggung, Aleksander bergerak menuju kota Baktria dan Sogdinia serta menundukkan kedua kota ini dengan mudah.
Pada 329 SM, Aleksander mendirikan kota Alexandria-Eschate di sekitar wilayah Sungai Iaxartes, menghancurkan kota Cyropolis, dan mengalahkan bangsa Scithia. Pada masa-masa ini juga, Aleksander banyak mendirikan kota baru yang mengadopsi namanya sebagai upaya penguatan pencitraan publik terhadap sosoknya sebagai dewa, sekaligus menobatkan diri sebagai ShahanShah (Raja Diraja atau King of Kings), yakni gelar kehormatan yang biasa digunakan raja-raja dari periode Kekaisaran Persia Pertama (First Persian Empire). Demi menjaga status tertinggi tersebut, Aleksander tidak ragu menerapkan praktik proskynesis (tradisi bangsa Persia yang memaksa siapapun untuk terlebih dahulu berlutut dan mencium tangan sebelum menyapa raja), bahkan bagi anggota tentaranya sendiri.
Tak pelak, pasukan Makedonia balik berangsur resah dan makin tidak nyaman seiring kian jelasnya Aleksander memuja dan mengadopsi budaya Persia. Keresahan internal ini sampai menetaskan percobaan pembunuhan atas Aleksander, namun terbongkar sebelum sempat terlaksana. Mereka yang terlibat dieksekusi tanpa memandang kenyataan bahwa sebagian dari para konspirator ini juga termasuk sobat lawas Aleksander sendiri. Callisthenes, cucu-ponakan Aristoteles, merupakan salah satu korban ketika namanya ikut terseret dalam upaya makar tersebut. Kleitus, negarawan sepuh yang pernah menyelamatkan nyawa Aleksander dalam Perang Granikus, juga bakal menerima nasib serupa. Melalui dua peristiwa berbeda dalam tahun yang sama, 328 SM, Aleksander membunuh Callisthenes dan Kleitus masing-masing, secara berurutan, atas tuduhan pengkhianatan dan meragukan otoritasnya .
Kegemaran Aleksander yang suka minum melampau batas sudah amat dikenal dan terkait kematian Kleitus, kebiasaan ini jelas amat berpengaruh terhadap kasus pembunuhan tersebut. Sebelumnya, baik Kleitus maupun Callisthenes diketahui makin tajam melontarkan kritik seiring makin kuatnya Aleksander mengadopsi budaya Persia. Sekalipun dikenal amat cakap berdiplomasi dan menangani segala urusan terkait penduduk, bahkan penguasa, dari wilayah taklukan, Aleksander sama sekali tidak pernah dikenal mau berlaku ramah atau sekedar toleran menghadapi pendapat atau opini pribadi yang tidak sejalan dengan pikirannya. Parahnya, keangkuhan watak ini justru makin menjadi-jadi saat Aleksander dalam kondisi terpengaruh minuman. Alhasil, kematian Kleitus tergolong singkat dan cepat setelah ditembus lembing (javelin) yang dilontarkan Aleksander, sementara Callisthenes dijebloskan ke penjara dan bisa jadi meninggal saat dalam kurungan atau dipalang dengan kayu salib.
India dan Pembangkangan Komando (Mutiny)
Pada 327 SM, setelah mengamankan wilayah Persia di bawah kendali tangannya serta baru saja menikahi bangsawan wanita dari Baktria bernama Roxana, Aleksander mengalihkan fokus ekspansi militernya ke wilayah India. Keburu mendengar kabar tentang sepak terjang Jendral Agung Makedonia ini sebelumnya, Raja Omphis dari Taxila, India, memutuskan untuk menyerah dan mengakui otoritas Aleksander tanpa perlawanan, namun tidak bagi dua suku lain, Aspasioi dan Assakenoi, yang bersikukuh melawan. Dalam peperangan di sepanjang 327 SM hingga menjelang 326 SM, Aleksander berhasil mengalahkan kedua suku ini sebelum akhirnya berhadapan dengan Raja Porus dari Paurawa dalam Perang Sungai Hidaspes pada 326 SM. Porus menerjang pasukan Aleksander dengan bala tentara gajah dan bertempur dengan sangat gagah berani sekalipun akhirnya dipaksa mengakui keunggulan militer Aleksander. Meskipun kalah, kegagahan Porus justru memicu kekaguman Aleksander hingga melantiknya menjadi penguasa atas wilayah yang bahkan lebih besar dari kekuasaan Porus sebelum perang. Kuda 'sakti' Buchepalus juga menemui ajal dalam perang ini dan Aleksander memberi nama 'Buchepala' pada satu dari dua kota yang didirikannya sebagai penghormatan abadi atas jasa kuda tersebut.
Aleksander berniat melanjutkan penaklukan militernya dengan menyebrang Sungai Gangga, namun anggota pasukannya yang kehabisan tenaga pasca pertempuran hebat melawan Raja Porus (menurut sejarawan Arrian, Aleksander kehilangan 1,000 bala tentara dalam perang tersebut), balik membangkang titah sang Jendral dan menolak bergerak maju. Aleksander berupaya keras melakukan segala ragam bujukan namun tetap gagal memenangi hati bala tentaranya hingga terpaksa menuruti keinginan mereka dan membatalkan rencana penaklukan India. Dia membagi dua kekuatan pasukan dengan memulangkan setengah jumlah tentaranya menuju Susa menggunakan jalur laut melalui Teluk Persia di bawah komando Laksamana Nearkus dan membawa balik separuh sisanya dengan bernapak tilas melintasi Gurun Gedrosia. Alasan utama pembagian pasukan ini belum diketahui dan masih menjadi perdebatan para sejarawan hingga saat ini. Jelasnya, sekalipun telah mengurungkan niat menaklukan India, Aleksander tetap mengambil jeda untuk bertempur dan menaklukan berbagai suku yang melawan di sepanjang rute menuju Susa. Pada gilirannya, ganasnya medan gurun ditambah banyaknya pertempuran yang dihadapi balik mengharuskan Aleksander dan pasukannya membayar dengan harga amat tinggi yakni kehilangan bala tentara dalam jumlah signifikan saat mereka mencapai gerbang kota Susa pada 324 SM.
Sekembalinya dari medan laga, Aleksander mendapati banyak satrap (pejabat wilayah setingkat gubernur) yang diamanati memegang tampuk kepemimpinan balik menyalahgunakan kekuasaan mereka. Kejahatan ini segera direspon dengan terbitnya perintah eksekusi atas semua pejabat korup, termasuk bagi mereka yang berani menjarah dan merusak makam Cirus yang Agung di bekas ibukota kekaisaran Akhemania, Pasargadae. Aleksander juga menitahkan restorasi makam dan ibukota kuno tersebut seraya mengambil berbagai kebijakan untuk mengambil hati sekaligus mempersatukan tentaranya dengan penduduk asli guna memadukan kebudayaan Persia dan Makedonia. Salah satu kebijakan ini adalah melaksanakan perkawinan masal di kota Susa dengan menikahkan para pejabat senior Makedonia dan wanita bangsawan dari Persia. Lagi-lagi, banyak anggota pasukannya keberatan atas penyatuan budaya ini dan berangsur mengkritisi cara berbusana dan berprilaku ala tradisi Persia yang telah diadopsi Aleksander pribadi sejak 329 SM. Mereka bahkan menolak pemberian promosi militer pada bangsa Persia yang membawahi bangsa Makedonia, termasuk perintah Aleksander sendiri untuk menggabungkan unit ketentaraan dari kedua bangsa tersebut. Alih-alih peduli dengan keberatan ini, Aleksander justru melantik bangsa Persia dan memberikan mereka posisi penting dalam kemiliteran, bahkan menganugrahkan pangkat dan gelar tradisional bangsa Makedonia kepada tentara Persia. Alhasil, kekukuhan sikap Aleksander berhasil membuat gentar pasukan Makedonia hingga kembali bersedia menuruti keinginan pimpinannya. Sebagai itikad baik sekaligus balas jasa atas kepatuhan ini, Aleksander mengembalikan pangkat dan gelar tradisional pada tentara Makedonia seraya menitahkan pesta komunal besar-besaran untuk makan dan minum bersama semua anggota pasukannya. Juga pada saat yang sama, Aleksander telah menganulir kebiasaan proskynesis atas dalih keberatan para pasukannya namun tetap melihat dirinya lebih sebagai raja Persia ketimbang Makedonia.
Pada masa yang bersamaan di kitaran 324 SM, Hephaestion, sobat sepanjang hayat sekaligus pemegang komando tertinggi setelah Aleksander, wafat akibat sejenis demam meskipun ada laporan yang menyebut penyebab kematiannya akibat diracun. Apapun musababnya, tak satupun sejarawan bersilang pendapat perihal dukacita mendalam yang dirasakan Aleksander akibat kepergian sahabatnya. Sejarawan Plutarch bahkan menyatakan Aleksander membantai bangsa Cossaea di kota tetangga sebagai simbol sesaji bagi kawannya, dan sejarawan lain, Arrian, mencatatkan Aleksander menitahkan agar para tabib yang merawat Hephaestion dieksekusi gegara gagal menyelamatkan nyawa sahabatnya. Semua surai dan ekor kuda juga dipotong sebagai simbol pernyataan duka dan Aleksander menolak untuk melantik, pun sekedar mencari pengganti Hephaestion dalam posisinya sebagai komandan tertinggi unit kavaleri. Aleksander meninggalkan makan dan minum seraya menyatakan masa berkabung bagi seluruh wilayah kekaisarannya sekaligus menyelenggarakan upacara pemakaman sahabatnya melalui prosesi yang hanya pantas diberlakukan bagi para raja.
Mangkatnya Aleksander
Pulih dari masa berkabung, Aleksander kembali mengalihkan perhatian pada rencana meluaskan wilayah kekaisarannya namun gagasan ini bakal tidak pernah terwujud. Hanya berjarak lebih kurang setahun pasca Hephaesteon wafat, atau tepatnya pada 10 atau 11 Juni 323 SM, Aleksander mangkat di Babilon pada usia 32 tahun setelah menderita demam tinggi selama sepuluh hari. Berbagai teori meruak perihal musabab kematian Aleksander seperti diracun, terserang malaria, akibat meningitis (radang selaput otak), hingga gegara infeksi setelah meminum air yang terkontaminasi bakteri (pun semua sebab ini menyatakan sebagian dari banyak teori lainnya). Sejarawan Plutarch mencatatkan bahwa 14 hari sebelum mangkat, Aleksander menjamu laksamana armadanya, Nearkus beserta teman lainnya, Medius dari Larissa, dalam satu pesta minum berkelarutan sebelum terserang demam tinggi yang membuatnya gagal pulih kembali. Ketika ditanya calon penggantinya, Aleksander hanya berujar, “yang terkuat (the strongest)”, sebuah jawaban pendek yang bakal memecah kekaisarannya menjadi beberapa wilayah masing-masing di bawah kuasa empat jendralnya yang dikenal sebagai Diadochi (Para Pewaris atau the successors), yaitu Cassander, Ptolemi, Antigonus dan Seleucus.
Akan tetapi, baik sejarawan Plutarch maupun Arrian sepakat menyatakan bahwa Aleksander sebenarnya berniat mewariskan tampuk kekuasaan pada Perdiccas, yakni sobat kental Hephaisteon yang mendapat kehormatan mengusung jenazahnya bersama Aleksander sendiri dalam prosesi pemakaman di Babilonia. Selain itu, Perdiccas juga dikenal sebagai teman dekat sekaligus pengawal pribadi (bodyguard) dan rekan militer Aleksander dalam unit kavaleri. Atas dalih kedekatan inilah gagasan suksesi tersebut bisa sangat mungkin terjadi mengingat kebiasaan Aleksander yang suka memberi berbagai hadiah dan beragam anugrah pada orang-orang terdekatnya, karenanya menjelaskan dasar pilihan atas Perdiccas dibanding teman lainnya. Pada kenyataannya, sebisa apapun suksesi ini dimungkinkan, sejarah sendiri menyaksikan bahwa semua jendral bawahan Aleksander mengabaikan niatan (atau bahkan titah) tersebut, dan Perdiccas sendiri dibunuh pada 321 SM atau berselang sekitar dua tahun pasca wafatnya sang Jendral Agung.
Para Pewaris (The Diadochi)
Cassander, notabene sobat lawas Aleksander sendiri, bakal menerbitkan titah eksekusi pada anggota keluarga sang Jendral, yakni atas sang istri Roxana dan putranya dari Aleksander serta sang ibu Olimpias, semuanya demi mengamankan tahta sebagai Raja Makedonia yang baru (gelar ini nantinya direbut oleh Antigonus I dan keturunannya). Ptolemi I mencuri jenazah Aleksander di tengah perjalanan menuju Makedonia dan secara diam-diam mengebumikan jasadnya di Mesir dengan harapan memenuhi ramalan yang menyebut bahwa tanah tempat jenazah bersemayam bakal menjadi makmur dan tak terkalahkan. Benar tidaknya ramalan tersebut, jelasnya Ptolemi berhasil mendirikan dinastinya sendiri (Dinasti Ptolemi atau Ptolemaic Dynasty) di Mesir dan bertahan hampir tiga abad hingga berakhir pada 30 SM atau bertepatan dengan mangkatnya Kleopatra VII sebagai keturunan terakhir Ptolemi. Sementara itu, Seleucus berhasil membangun Kekaisaran Seleusi (Seleucid Empire) yang terdiri atas wilayah Mesopotamia, Anatolia dan sebagian India. Dia juga menjadi Diadochi terakhir yang bersintas pasca berakhirnya 40-tahun perang berkepanjangan antar para Pewaris dan keturunan mereka, serta bakal dikenal sejarah dengan julukan Seleucus I Nicator ('yang tak terkalahkan' atau 'the unconquered'). Sekalipun tidak ada dari keempat Pewaris yang memiliki kecerdasan, kejelian serta kejeniusan militer setingkat Aleksander, mereka mampu mendirikan dinasti masing-masing dan, dengan beberapa pengecualian, bakal memerintah wilayahnya sendiri-sendiri hingga masa kedatangan bangsa Roma.
Pada gilirannya, pengaruh para Pewaris atas wilayah masing-masing bakal menggiring terciptanya sebuah kurun sejarah yang disebut para pakar dengan nama Periode Helenik (Hellenistic Period), yakni era yang merefleksikan beragam bentuk akulturasi baik pemikiran maupun tradisi Yunani terhadap apapun dan dimanapun populasi asli berada. Berdasar risalah Diodorus Siculus, terwujudnya kekaisaran tunggal yang menyatukan semua bekas musuhnya memang dicanangkan sebagai salah satu syarat mutlak bagi pewaris (resmi) Aleksander. Karenanya, berbagai bangsa dari Timur Dekat didorong untuk menikah dengan bangsa lain dari Eropa, atau sebaliknya, guna menciptakan sebuah budaya baru yang dianut semua pihak. Dengan demikian, sekalipun para Diadochi gagal dalam mewujudkan cita-cita Aleksander secara damai, program Helenisasi yang dijalankan kekaisaran mereka tetap memberikan kontribusi pada tercapainya impian sang Jendral Agung atas satu budaya manunggal (cultural unity), meskipun kemanunggalan tersebut tidak sepenuhnya bisa terwujud.