India adalah sebuah negara di Asia Selatan yang namanya berasal dari Sungai Indus. Nama 'Bharata' digunakan sebagai sebutan untuk negara tersebut dalam konstitusi mereka yang merujuk pada kaisar mitologi kuno, Bharata, yang kisahnya diceritakan, sebagian, dalam epos India Mahabharata.
Berdasarkan tulisan-tulisan yang dikenal sebagai Purana (teks religious/historis yang ditulis pada abad ke-5 Masehi), Bharata menaklukkan seluruh anak benua India dan memerintah negeri tersebut dengan damai dan keselarasan. Sebelumnya, negeri ini dikenal sebagai Bharatavarsha (“anak benua Bharata”). Aktivitas hominid di anak benua India sudah ada sejak 250.000 tahun yang lalu, sehingga merupakan salah satu wilayah tertua yang dihuni di planet ini.
Penggalian arkeologis menemukan artefak-artefak yang digunakan oleh manusia purba, meliputi perkakas batu, yang menunjukkan tanggal yang sangat awal bagi hunian manusia dan teknologi di area tersebut. Meski peradaban kuno Mesopotamia dan Mesir sudah lama diakui atas kontribusi mereka bagi peradaban, India sering kali terlupakan, terutama di negeri Barat, meskipun sejarah dan budayanya sama kayanya. Peradaban Lembah Indus (sekitar 7000 – 600 SM) adalah salah satu yang paling besar dalam dunia kuno, cakupannya melebihi wilayah Mesir atau Mesopotamia dan menghasilkan budaya yang sama semaraknya dan sama progresifnya.
Di sinilah tempat lahirnya empat agama besar di dunia – agama Hindu, Jain, Buddha, dan Sikh – begitu pula dengan sekolah filsafat Charvaka yang mempengaruhi perkembangan pemikiran dan pembahasan ilmiah. Penemuan dan inovasi dari orang-orang India kuno meliputi banyak aspek di kehidupan modern yang kurang kita hargai, seperti toilet siram (flush), drainase, sistem pembuangan limbah, kolam renang publik, matematika, ilmu kedokteran hewan, operasi plastik, permainan papan, yoga dan meditasi, dan masih banyak lagi.
Prasejarah di India
Wilayah India, Pakistan, dan Nepal yang sekarang memberikan situs-situs terkaya dengan silsilah paling kuno kepada para arkeolog dan akademisi. Spesies Homo heidelbergensis (proto-manusia yang merupakan nenek moyang Homo sapiens modern) menghuni anak benua India berabad-abad sebelum manusia bermigrasi ke wilayah yang sekarang dikenal sebagai Eropa. Bukti keberadaan Homo heidelbergensis pertama kali ditemukan di Jerman di tahun 1907 dan sejak saat itu, penemuan-penemuan lebih lanjut memantapkan pola migrasi spesies ini dari Afrika dengan cukup jelas.
Pengakuan atas keberadaan mereka di India sebagian besar disebabkan oleh minat arkeologi yang agak terlambat di wilayah tersebut, tidak seperti di Mesopotamia dan Mesir, penggalian di India oleh orang-orang Barat tidak dimulai dengan serius sampai tahun 1920an. Meskipun keberadaan kota purba Harappa sudah diketahui sejak 1829, kepentingan arkeologisnya diabaikan dan penggalian yang dilakukan di kemudian hari adalah karena ketertarikan untuk menemukan situs-situs yang disebutkan dalam epos besar India Mahabharata dan Ramayana (keduanya dari abad ke-5 atau ke-4 SM) sambil mengabaikan kemungkinan tentang masa lalu yang lebih tua wilayah tersebut.
Desa Balathal (dekat Udaipur di Rajasthan), sebagai contoh, menggambarkan Sejarah India yang sudah ada sejak 4000 SM. Balathal tidak ditemukan hingga tahun 1962 dan penggalian di sana tidak dimulai hingga tahun 1990an Masehi. Yang lebih tua lagi adalah situs Neolitik Mehrgarh, yang diperkirakan sudah ada sejak tahun 7000 SM namun menunjukkan bukti pemukiman yang bahkan lebih awal, yang tidak ditemukan hingga tahun 1974.
Penggalian arkeologi dalam 50 tahun terakhir mengubah secara dramatis pemahaman tentang masa lalu India dan, lebih jauh lagi, sejarah dunia. Kerangka berusia 4000 tahun yang ditemukan di Balathal di tahun 2009 memberikan bukti paling tua mengenai penyakit lepra di India. Sebelum penemuan ini, lepra dianggap penyakit yang jauh lebih muda yang pada satu titik diperkirakan terbawa dari Afrika ke India dan kemudian dari India ke Eropa oleh pasukan Aleksander Agung setelah kematiannya di tahun 323 SM.
Saat ini sudah dipahami bahwa aktivitas manusia yang signifikan sudah berjalan di India pada Periode Holosen (10.000 tahun lalu) dan bahwa banyak asumsi sejarah, berdasarkan penemuan-penemuan di Mesir dan Mesopotamia, yang harus diulas dan direvisi lagi. Permulaan tradisi Weda di India, yang masih dipraktikkan hingga saat ini, bisa ditelusuri, setidaknya sebagian, dari suku asli dan interaksi mereka di situs-situs purba seperti Balathal dan pencampuran dengan kebudayaan imigran Arya yang tiba di wilayah tersebut antara tahun 2000-1500 SM, mengawali apa yang disebut sebagai Periode Weda (1500-500 SM) di mana kitab suci Hindu yang dikenal sebagai Weda dituliskan.
Mohenjo-daro & Peradaban Harappa
Peradaban Lembah Indus berasal dari sekitar tahun 7000 SM dan tumbuh dengan stabil di seluruh wilayah Lembah Gangga ke arah Selatan dan Utara menuju Malwa. Kota-kota pada periode ini lebih besar dibandingkan pemukiman kontemporer di negara lain, letaknya berdasarkan titik-titik kardinal, dan dibangun menggunakan batu bata lumpur yang sering kali dibakar di tungku. Rumah-rumah dibangun dengan halaman besar dari pintu depan, sebuah dapur/ruang kerja untuk menyiapkan makanan, dan kamar tidur-kamar tidur yang lebih kecil.
Kegiatan keluarga tampaknya berpusat di bagian depan rumah, khususnya di halaman dan, dalam hal ini, serupa dengan apa yang disimpulkan dari situs-situs di Roma, Mesir, Yunani, dan Mesopotamia. Bangunan-bangunan dan rumah-rumah Masyarakat Lembah Indus secara teknologi lebih maju dengan banyaknya rumah yang memiliki fasilitas toilet siram (flush) dan “penangkap angin” (kemunginan pertama kali dikembangkan di Persia Kuno) di atap-atap rumah yang memberikan udara sejuk. Sistem drainase dan pembuangan limbah juga sudah lebih maju dibandingkan dengan Roma pada puncak kejayaannya.
Situs paling terkenal dari periode ini adalah kota besar Mohenjo-daro dan Harappa yang terletak di wilayah Pakistan modern (Mohenjo-daro di provinsi Sindh dan Harappa di Punjab) yang merupakan bagian dari India hingga pemisahan di tahun 1947. Nama Harappa diberikan untuk Peradaban Harappa (nama lain Peradaban Lembah Indus) yang biasanya dibagi menjadi periode Awal, Tengah, dan Dewasa yang bersesuaian dengan 5000-4000 SM (Awal), 4000-2900 (Tengah), dan 2900-1900 SM (Dewasa). Harappa berasal dari periode Tengah (sekitar 3000 SM) sementara Mohenjo-daro dibangun pada periode Dewasa (sekitar 2600 SM).
Bangunan-bangunan Harappa sudah rusak parah dan situsnya sendiri sudah terancam rusak di abad ke-19 ketika para pekerja Inggris mengambil sejumlah besar material untuk digunakan sebagai pemberat untuk membangun rel kereta. Sebelumnya, banyak bangunan yang sudah dibongkar oleh penduduk desa di Harappa (yang menjadi nama situs ini) untuk digunakan dalam proyek mereka sendiri. Dengan demikian, saat ini sulit untuk menentukan signifikasi historis Harappa selain bahwa jelas Harappa pernah menjadi komunitas Zaman Perunggu yang penting dengan populasi sebanyak 30.000 orang.
Di lain pihak, Mohenjo-daro, lebih terpelihara karena sebagian besar tekubur hingga tahun 1922. Nama Mohenjo-daro berarti 'gundukan orang mati’ dalam Bahasa Sindhi dan digunakan untuk situs ini oleh penduduk lokal yang menemukan tulang-tulang manusia dan hewan di situs ini, beserta keramik-keramik purba dan artefak lainnya, secara periodik muncul dari dalam tanah. Nama asli kota ini tidak diketahui meskipun berbagai kemungkinan sudah diajukan berdasarkan penemuan-penemuan di wilayah ini, di antaranya, nama dari Bahasa Dravida ‘Kukkutarma’, kota ayam jantan, kiasan yang kemungkinan digunakan untuk situs yang sekarang dikenal sebagai Mohenjo-daro sebagai pusat ritual adu ayam jantan, atau mungkin, sebagai pusat pembiakan ayam jantan.
Mohenjo-daro adalah kota yang dibangun dengan rumit dengan jalan-jalan yang ditata dengan seimbang dan sistem drainase yang canggih. Pemandian Besar, struktur pusat di situs ini, dipanasi dan sepertinya merupakan tempat penting bagi komunitas. Para penduduk memiliki keahlian dalam penggunaan logam seperti tembaga, perunggu, timbal, dan timah (terbukti dari karya-karya seni seperti patung perunggu Gadis Menari dan adanya segel individu) dan membudidayakan jelai, gandum, kacang polong, wijen, dan kapas. Perdagangan adalah sumber penting industri komersil dan diperkirakan bahwa teks-teks Mesopotamia kuno yang menyebutkan Magan dan Meluhha mengacu pada India secara umum, atau mungkin, Mohenjo-daro secara spesifik. Artefak dari wilayah Lembah Indus ditemukan di situs-situs di Mesopotamia, meskipun, dari bagian India yang mana persisnya tidak selalu jelas.
Kemunduran Peradaban Harappa
Masyarakat Peradaban Harappa menyembah banyak dewa dan melakukan ritual pemujaan. Patung-patung berbagai dewa (seperti Dewa Indra, dewa badai dan perang) ditemukan di banyak situs dan, yang paling utama, potongan terakota yang menggambarkan Dewi Shakti (Dewi Ibu) menunjukkan pemujaan yang umum dan populer terhadap femininitas. Pada tahun 2000 – 1500 SM diperkirakan ras lain, yang dikenal sebagai ras Arya, bermigrasi ke India lewat Jalur Khyber dan berasimilasi dengan kebudayaan yang sudah ada, membawa dewa-dewa mereka dan Bahasa Sansekerta yang kemudian diperkenalkan dengan sistem kepercayaan yang sudah ada. Siapakah bangsa Arya itu dan apa pengaruh yang mereka miliki terhadap suku-suku asli masih menjadi perdebatan, namun secara umum diakui bahwa, pada saat yang hamper berasamaan dengan kedatangan mereka, kebudayaan Harappa mulai mengalami kemunduran.
Para akademisi mengutip perubahan iklim sebagai salah satu kemungkinan penyebab kemunduran peradaban ini dikarenakan adanya bukti kekeringan dan banjir di wilayah tersebut. Sungai Indus diperkirakan mulai secara reguler membanjiri wilayah tersebut (terbukti dengan adanya endapan kira-kira setinggi 30 kaki atau 9 meter di Mohenjo-daro) dan banjir ini merusak tanaman sehingga menyebabkan bencana kelaparan. Diperkirakan pula jalur angin muson, yang diandalkan untuk mengairi tanaman, kemungkinan berubah dan orang-orang pergi meninggalkan kota-kota di Utara menuju ke Selatan. Kemungkinan lainnya adalah hilangnya hubungan dagang dengan Mesopotamia dan Mesir, dua mitra paling utama mereka dalam perdagangan, dikarena kedua negara tersebut juga sedang mengalami konflik domestik di saat yang sama.
Penulis rasial dan filsuf politik awal abad ke-20, mengikuti jejak filolog Jerman Max Muller (1823-1900), menyatakan Peradaban Lembah Indus jatuh karena invasi bangsa Arya yang berkulit putih, namun teori ini sudah lama dipatahkan. Teori lain yang sama-sama tidak bisa dipertahankan adalah karena terusirnya penduduk ke Selatan oleh makhluk luar angkasa. Di antara aspek-aspek Mohenjo-daro yang paling misterius adalah vitrifikasi beberapa bagian dari situs seolah-olah bagian itu terkena panas yang intens yang melelehkan batu bata dan batu. Fenomena yang sama juga diamati di situs-situs lain seperti Traprain Law di Skotlandia dan dihubungkan dengan akibat dari perang. Namun, spekulasi mengenai kehancuran kota ini oleh semacam ledakan bom atom (ulah makhluk dari planet lain) umumnya tidak dianggap kredibel.
Periode Weda
Apapun alasan ditinggalkanya kota-kota tersebut, periode setelah kemunduran Peradaban Lembah Indus dikenal sebagai Periode Weda, yang dicirikan dengan gaya hidup berternak dan menaati teks religious yang dikenal sebagai Weda. Masyarakat dibagi-bagi menjadi empat kelas (Varna) yang lebih dikenal sebagai ‘sistem kasta’ yang meliputi kaum Brahmana di paling atas (pendeta dan akademisi), selanjutnya Kshatriya (prajurit), Vaishya – Waisya (petani dan pedagang), dan Shudra – Sudra (buruh). Yang paling rendah adalah Dalit, yang tak tersentuh, yang menangani daging dan sampah, meskipun ada perdebatan tentang keberadaan kelas ini di zaman kuno.
Awalnya, sistem kasta tampaknya hanyalah refleksi dari pekerjaan seseorang, namun, lama-kelamaan, sistem ini ditafsirkan dengan lebih kaku sebagai sistem yang ditentukan oleh kelahiran seseorang dan tidak diperbolehkan untuk berganti kasta atau menikah dengan orang dari kasta lain. Pemahaman ini adalah refleksi dari kepercayaan akan tatanan abadi kehidupan manusia yang ditentukan oleh dewa tertinggi.
Meski agama yang mencirikan Periode Weda dianggap jauh lebih tua, pada waktu inilah agama ini menjadi sistematis sebagai agama Sanatana Dharma (“Tatanan Abadi”) yang sekarang dikenal sebagai Hinduisme (nama ini berasal dari Sungai Indus atau Sindus di mana umat berkumpul, dengan demikian ‘Sindus’, kemudian menjadi ‘Hindu”). Prinsip dasar Sanatana Dharma adalah bahwa ada tatanan dan tujuan untuk alam semesta dan kehidupan manusia dan dengan menerima tatanan ini dan hidup sesuai dengan tatanan, seseorang bisa menjalani hidup dengan sebagaimana mestinya.
Meskipun Sanatana Dharma dianggap agama politeis yang memiliki banyak dewa oleh banyak orang, agama ini sebenarnya monoteis karena meyakini adanya satu Tuhan, Brahman (Sang Diri tapi juga Alam Semesta dan pencipta semesta yang terlihat), yang, karena kehebatannya, tidak dapat dipahami seutuhnya selain melaui aspek-aspek yang diungkap sebagai berbagai dewa berbeda dalam jajaran dewa-dewa Hindu.
Adalah Brahman yang menentukan tatanan abadi dan dengan tatanan itu ia memelihara alam semesta. Kepercayaan akan tatanan untuk alam semesta ini mencerminkan stabilitas masyarakat yang tumbuh dan berkembang karena, selama Periode Weda, pemerintahan menjadi terpusat dan adat-istiadat sosial sepenuhnya bersatu dengan kehidupan sehari-hari di seluruh wilayah. Selain Weda, karya-karya besar sastra dan religious seperti Purana, Mahabharata, Bhagawad-Gita, dan Ramayana semua berasal dari periode ini.
Di abad ke-8 SM, pendukung perubahan religius Vardhamana Mahavira (599-527 SM) dan Siddhartha Gautama (563 sampai 483 SM) mengembangkan sistem kepercayaan mereka sendiri dan memisahkan diri dari Sanatana Dharma hingga akhirnya meciptakan agama baru yang masing-masing dikenal sebagai Jainisme dan Buddhisme. Perubahan-perubahan ini merupakan bagian dari pola yang lebih luas dalam pergolakan sosial dan budaya yang menyebabkan terbentuknya negara-kota dan bangkitnya kerajaan-kerajaan besar (seperti Kerajaan Magadha di bawah penguasa Bimbisara) dan bertambah banyaknya aliran-aliran pemikiran filsafat yang menantang agama Hindu ortodoks.
Mahavira menolak Weda dan menempatkan tanggung jawab keselamatan dan pencerahan langsung pada perorangan dan Buddha pun kemudian melakukan hal yang sama. Aliran filsafat Charvaka menolak segala bentuk elemen supranatural dalam ajaran agama dan menyatakan bahwa hanya indera yang bisa dipercaya untuk memahami kebenaran dan, lebih jauh lagi, bahwa tujuan paling besar dalam hidup adalah kesenangan dan kenikmatan seseorang. Meski Charvaka tidak bertahan sebagai aliran pemikiran, namun tetap memberikan pengaruh terhadap berkembangnya cara berpikir baru yang lebih membumi, pragmatis, dan pada akhirnya mendorong penerapan observasi dan metode yang empiris dan ilmiah.
Kota-kota juga berkembang pada masa ini dan peningkatan urbanisasi dan kekayaan menarik perhatian Koresh II (yang Agung, memerintah 550-530 SM) dari Kekaisaran Akhemeniyah Persia (550-330 SM) yang mengivasi India di tahun 530 SM dan memulai operasi penaklukan di wilayah tersebut. Sepuluh tahun setelahnya, di bawah kekuasaan putranya, Darius I (yang Agung,memerintah 522-486 SM), India Utara sudah benar-benar di bawah kendali Persia (wilayah ini sekarang adalah Afganistan dan Pakistan) dan penduduknya harus menaati hukum dan adat-istiadat Persia. Alhasil, kemungkinan, adalah asimilasi agama Persia dan India yang oleh beberapa akademisi dianggap sebagai penjelasan untuk reformasi agama dan budaya yang lebih lanjut.
Kerajaan-Kerajaan Besar India Kuno
Persia mendominasi India Utara hingga penaklukan oleh Aleksander Agung di tahun 330 SM yang menyerbu India setelah kejatuhan Persia. Lagi, pengaruh asing dibawa ke wilayah ini dan membangkitkan budaya Buddha-Yunani yang mempengaruhi seluruh kebudayaan India Utara mulai dari kesenian, agama hingga pakaian. Patung-patung dan relief dari periode ini menggambarkan Sang Buddha dan tokoh lainnya dalam busana dan pose Helenik – Yunani – (dikenal sebagai Aliran Seni Gandhara). Setelah kepergian Aleksander dari India, Kerajaan Maurya (322-185 SM) bangkit di bawah kekuasaan Chandragupta Maurya (memerintah 321-297 SM) hingga, pada akhir abad ke-3 SM, kerajaan ini menguasai hampir seluruh India Utara.
Putra Chandragupta, Bindusara (memerintah 298-272 SM) memperluas wilayah kerajaan hampir ke seluruh India. Putranya Ashoka Agung (memerintah 268-232 SM) membawa kerajaan ke masa keemasannya. Setelah delapan tahun berkuasa, Raja Ashoka menaklukan negara-kota Kalianga di sebelah timur yang mengakibatkan lebh dari 100.000 orang tewas. Terkejut akan kehancuran dan kematian ini, Raja Asoka memeluk ajaran Buddha dan memulai program sistematis yang mendukung pemikiran dan prinsip-prinsip agama Buddha.
Raja Ashoka mendirikan banyak biara, menyumbang dengan murah hati kepada komunitas-komunitas Buddhis, dan konon mendirikan 84.000 stupa di seluruh negeri untuk menghormati Sang Buddha. Di tahun 249 SM, dalam ziarah ke situs-situs yang berhubungan dengan kehidupan Sang Buddha, Raja Ashoka secara formal menetapkan desa Lumbini sebagai tempat kelahiran Sang Buddha, mendirikan sebuah pilar dan memerintahkan pembuatan Dekrit Asoka yang terkenal untuk mendorong pemikiran dan nilai-nilai agama Buddha. Sebelum Raja Ashoka berkuasa, agama Buddha adalah sebuah sekte kecil yang sedang berjuang untuk mendapatkan pengikut. Setelah Raja Ashoka mengirimkan misionaris yang membawa visi agama Buddha ke negara-negara lain, sekte kecil ini mulai tumbuh menjadi agama besar seperti sekarang.
Kerajaan Maurya mengalami kemunduran dan kejatuhan setelah kematian Ashoka dan negara tersebut terpecah menjadi banyak kerajaan dan kekaisaran kecil (seperti Kekaisaran Kushan) dalam apa yang kemudian disebut Periode Tengah. Era ini menyaksikan peningkatan perdagangan dengan Roma (yang telah dimulai sekitar tahun 130 SM) menyusul penggabungan Mesir ke dalam Kekaisaran Romawi yang baru didirikan oleh Kaisar Augustus pada tahun 30 SM. Roma kini menjadi mitra utama India dalam perdagangan karena Roma juga telah mencaplok sebagian besar Mesopotamia. Ini adalah masa perkembangan individu dan budaya di berbagai kerajaan yang akhirnya berkembang pesat dalam apa yang dianggap sebagai Zaman Keemasan India di bawah pemerintahan Kekaisaran Gupta (320-550 M).
Kekaisaran Gupta diperkirakan didirikan oleh Sri Gupta (‘Sri’ artinya ‘Tuan’) yang mungkin berkuasa antara tahun 240-280 Masehi. Naiknya Sri Gupta ke puncak kekuasaan adalah sesuatu yang tidak pernah terjaid sebelumnya karena Sri Gupta diperkirakan berasal dari kasta Waisya (pedagang) yang mana hal ini bertentangan dengan sistem kasta. Ia meletakkan dasar untuk pemerintahan yang akan menstabilkan India sehingga hampir semua aspek kebudayaan mencapai puncak tertingginya di bawah pemerintahan Dinasti Gupta. Filsafat, kesusastraan, sains, matematika, arsitektur, astronomi, teknologi, kesenian, teknik, agama, dan bidang lainnya, semua tumbuh dan berkembang pada periode ini, yang menghasilkan beberapa pencapaian terbesar manusia.
Purana Wiyasa disusun selama periode ini dan gua-gua terkenal Ajanta dan Ellora, dengan ukir-ukirannya dan ruang-ruang dengan langit-langit melengkung, juga dimulai. Penyair dan penulis drama Kalidasa menulis mahakaryanya Shakuntala; dan Kamasutra juga ditulis, atau disusun dari karya-karya sebelumnya, oleh Vatsyayana. Varahamihira yang mendalami astronomi di saat yang dengan Aryabhatta, ahli matematika, membuat penemuan dalam bidangnya dan mengakui pentingnya konsep nol, yang penemuannya dikreditkan pada dirinya. Karena pendiri Kekaisaran Gupta tidak mengikuti konsep agama Hindu ortodoks, tidak mengherankan bahwa para penguasa Gupta menganjurkan dan menyebarkan agama Buddha sebagai agama nasional dan ini adalah alasan adanya banyak sekali kesenian bernuansa Buddhis, dibandingkan yang bernuasa Hindu, di situs-situs seperti Ajanta dan Ellora.
Kemunduran Kekaisaran Gupta dan Kedatangan Islam
Kekaisaran Gupta perlahan mengalami kemunduran di bawah penguasa yang lemah hingga akhirnya runtuh sekitar tahun 550 Masehi. Kekaisaran Gupta kemudian digantikan oleh pemerintahan Harshawardhana (590-647 Masehi) yang menguasai wilayah tersebut selama 42 tahun. Seorang sastrawan yang yang sudah memiliki pencapaian berarti (ia menulis tiga sandiwara selain karya-karya lainnya) Harsha adalah seorang patron kesenian dan seorang penganut agama Buddha yang taat yang melarang membunuh hewan di kerajaannya namun memahami terkadang perlu membunuh manusia dalam peperangan.
Harsha sangat ahli dalam strategi militer yang hanya pernah satu kali dikalahkan seumur hidupnya. Di bawah kekuasaannya, India Utara berkembang namun kerajaannya runtuh setelah kematiannya. Penjajahan oleh bangsa Hun sudah berkali-kali dihalau oleh Dinasti Gupta dan kemudian oleh Harshawardhana, namun dengan runtuhnya kerajaannya, India jatuh dalam kekacauan dan terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang tidak bersatu sehingga tidak mampu melawan penjajah.
Di tahun 712 Masehi, jenderal Muslim Muhammed bin Qasim menaklukkan India Utara, menetapkan dirinya di wilayah yang saat ini menjadi Pakistan. Invasi Muslim ini menyaksikan akhir dari kerajaan-kerajaan asli India dan, sejak saat itu, negara-kota independen atau komunitas yang berada di bawah kendali suatu kota menjadi model standar pemerintahan. Kesultanan Islam tumbuh di wilayah yang sekarang menjadi Pakistan dan menyebar ke arah barat laut.
Cara memandang dunia yang berbeda dari agama-agama ini, yang sekarang saling bersaing agar bisa diterima di wilayah tersebut, dan banyaknya ragam bahasa yang digunakan, membuat penyatuan dan kemajuan budaya, seperti yang terlihat pada masa Dinasti Gupta, sulit diulangi lagi. Akibatnya wilayah ini dengan mudah ditaklukkan oleh Kerajaan Islam Mughal. India terus dikuasai oleh pengaruh-pengaruh dan kekuatan asing (di antaranya adalah Portugism Perancis, dan Inggris) hingga akhirnya memperoleh kemerdekaan di tahun 1947.