Circe, buku terbaru Madeline Miller, bercerita tentang penyihir wanita yang pernah menjadi kekasih si cerdik Odysseus. Inti dari kisahnya, tidak lain, adalah tentang pencarian jati diri, tujuan, dan kekuatan seorang perempuan. Dalam wawancara eksklusif kali ini, Madeline Miller berbincang dengan James Blake Wiener dari Ancient History Encyclopedia (AHE).
JBW: Madeline Miller, wawancara The Song of Achilles adalah wawancara pertama saya untuk Ancient History Encyclopedia (AHE) dan saya sangat senang dapat berbincang kembali dengan anda. Selamat atas penerbitan buku terbaru anda, Circe, dan terima kasih atas ketersediaannya!
Saya penasaran tentang apa yang membedakan proses menulis Circe dengan The Song of Achilles. Apakah ada tantangan tertentu dalam menentukan tone tulisan atau meriset materi untuk Circe?
MM: Terima kasih atas sambutannya, James!
Menurut saya, Circe dan The Song of Achilles sangat berbeda. Waktu menulis The Song of Achilles, saya seperti mengungkap bagian tersembunyi dari kisah mitologi. Sedangkan saat menulis Circe, Saya seperti mempertanyakan sebuah kisah, mengungkap maksud tersembunyi Odysseus, dan memberikan Circe kesempatan untuk menceritakan kisahnya sendiri.
Tantangan terbesar dalam menulis Circe adalah membayangkan cara berpikir dewa. Circe adalah makhluk abadi yang telah menyaksikan beribu ratus tahun berlalu. Saya ingin hal tersebut terlihat dari caranya berbicara dan menghabiskan waktu. Saya juga harus menyesuaikan banyak karakter dalam Circe, karena ia memiliki keluarga besar. Saya ingin setiap karakter punya cerita, tapi saya tidak ingin para pembaca merasa bosan, jadi banyak hal yang harus dipikirkan dan dipertimbangkan.
JBW: Apa hal pertama yang membuat anda tertarik dengan Circe, dan apa yang membuat anda bisa terus menulis tentangnya? Circe dianggap sebagai penyihir perempuan yang pertama muncul di sastra barat, mengetahui fakta ini saya curiga jangan-jangan ia menyihir anda juga.
MM: Dalam Odyssey, Circe adalah perwujudan dari ketakutan pria terhadap kekuatan perempuan–dalam hal ini yang ditakutkan jika perempuan punya kekuatan, adalah para pria akan diubah menjadi babi. Kata "penyihir" sampai saat ini masih dipakai sebagai sindiran terhadap perempuan yang mempunyai kekuatan yang membuat masyarakat takut. Orang-orang yang tidak banyak dibicarakan selalu membuat saya penasaran!
Saya tertarik pada Circe khususnya karena misteri dan kompleksitasnya. Circe dilahirkan sebagai nimfe, tingkat terbawah dalam dunia dewa. Dalam mitologi kuno, peran nimfe adalah bidak atau mangsa: dinikahi, dibunuh, diperkosa. Mereka hanya punya sedikit kuasa atas diri mereka. Tapi waktu saya melihat Circe di Odyssey, ia sangat kuat, bisa menghancurkan, dan sangat bijak. Ia bangkit kembali, menemukan kekuatannya sendiri–yaitu sihir. Saya ingin tahu bagaimana ia mendapatkannya dan rasanya mempertahankan kekuatannya di dunia yang keras terhadap kebebasannya.
Dan tentu saja, ada tanda tanya besar yang tidak dijawab oleh Homer: mengapa Circe mengubah pria menjadi babi? Seringkali hal seperti ini dijawab sambil lalu–"tahulah, namanya juga wanita." Selain seksis, jawaban seperti itu juga membosankan. Ada alasan dibalik perilaku manusia, dan saya ingin tahu alasan ia melakukan hal se-ekstrem itu.
JBW: Circe adalah kisah yang sangat manusiawi tentang seorang wanita cerdas yang ingin menemukan kekuatan dan tempatnya di dunia yang lebih luas. Ditambah, ia harus berurusan dengan keluarganya yang sulit.
Hubungan Circe naik turun dengan ayahnya Helios, ibunya Perse, dan saudara-saudaranya yaitu Pasiphaee, Aeetes, dan Perses dari Colchis. Bagaimana anda menggambarkan dinamika keluarganya, dan menurut anda bagaimana hubungan Circe dengan Helios, khususnya?
MM: Salah satu hal yang saya senangi dari Homer adalah cerita-ceritanya terasa nyata dan relevan. Ada monster berkepala enam dan dewa, tapi tetap saja inti dari Odyssey adalah cerita tentang veteran perang yang kelelahan dan hanya ingin pulang, ia berjuang menemukan jalan kembali ke kehidupannya. Circe kurang lebih sama seperti Odyssey– ia lahir di keluarga yang buruk dan kasar dan harus menemukan cara kabur dari rumah dan menemukan rumahnya sendiri.
Para dewa Yunani kebanyakan menyedihkan, egois, cerewet, pemarah, dan narsistik. Saya ingin menggambarkan bagaimana keluarga seperti itu ada, rasa keterasingan dan ketakutannya. Helios adalah ayah yang buruk, dan salah satu perjuangan Circe adalah menemukan bagaimana berpisah darinya dan berlindung dari kemarahan ayahnya.
JBW: Zeus pada akhirnya mengasingkan Circe ke pulau Aiaia. Disana, ia bertemu dengan beberapa 'tokoh terkenal' dalam mitos Yunani Kuno, seperti Minotaur, Daedalus dan anaknya Icarus, dan, tentu saja, Odysseus.
Apa yang membuat anda ingin menuliskan interaksi Circe dengan figur-figur mitologi ini? Apakah anda punya salah satu figur kesukaan yang anda eksplor ketika menulis Circe?
MM: Saya awalnya tidak menyangka Circe ternyata punya banyak sekali kerabat. Dalam sastra kuno, ia adalah bibi dari Minotaur dan Medeia, sekaligus sepupu dari Promotheus. Jadi tiga makhluk mitologi ini yang pertama saya pelajari.
Saya menikmati perjalanan menulis karakter-karakter sampingan, tapi pilihan saya adalah Daedalus, terutama karena ia ternyata cukup mengejutkan. Awal mula saya bermaksud menjadikannya karakter minor, tapi seiring waktu ia tumbuh, dan interaksi Daedalus dan Circe menjadi poin penting. Circe menemukan sahabat untuk berbincang mengenai pekerjaan dan penemuan.
Saya juga senang bisa mendalami Odysseus kembali, kali ini sebagai orang tua yang lelah. Saat ini ia dipuja dan dicintai dimana-mana, tapi masyarakat kuno cenderung berbeda. Saya ingin menonjolkan sisi kekerasan, kesalahan yang dilakukannya, dan keangkuhannya, sekaligus keberanian dan kecerdasannya.
Secara keseluruhan, saya senang menggali tentang perempuan di dalam cerita: Saudari-saudari Circe yaitu Pasiphae, Ariadne, Penelope, Medea, dan lainnya. Saya ingin mereka punya jiwa dan kepentingan sendiri seperti para lelaki yang terkenal di kalangan millenial.
JBW: Di dalam novel anda, Circe bertemu dengan sepupunya, Medea. Dan ia menemukan banyak kesamaan sifat dengan Medea.
Menurut anda, mengapa mereka bisa mirip? dan bagaimana perbedaan di antara keduanya?
MM: Keduanya adalah wanita cerdas dan gigih yang mengalami trauma dan teror masa kecil. Homer mendeskripsikan Kakak Circe, Aeetes, dan Ayah Medea sebagai orang yang pikirannya "cenderung menghancurkan". Saya ingin menggambarkan bagaimana tumbuh dengan hal seperti itu.
Tapi mereka juga berbeda. Rasa sakit yang dialami Circe membuatnya lebih empatik terhadap penderitaan orang lain. Medea belajar bahwa dia harus bisa mandiri karena tidak ada yang mengurusnya. Dua hal tersebut adalah reaksi nyata terhadap jenis perlakuan yang mereka alami. Medea masih jauh lebih muda dari Circe, jiwa muda serta kepolosannya lah yang menggerakkan saya.
JBW: Circe juga tertarik pada Penelope, bukan? Dia tahu sedikit tentang Penelope dari Odysseus.
MM: Bagi saya Penelope adalah salah satu pilar penting dalam novel, jadi sangat wajar Circe tertarik kepadanya. Bukan hanya karena hubungan Penelope dengan Odysseus namun juga karena cara Odysseus bicara padanya sebagai seorang seniman, pemikir cerdas, dan pengamat sekitar. Tapi saya juga ingin menyebutkan bagian dari dirinya yang tidak banyak dibicarakan: Ia mengasuh Telemakhos sendirian. Saya ingin menceritakan tentang keinginan kuat dan disiplin dirinya, ia berhasil bertahan. Dalam hal ini, Penelope dan Circe memiliki banyak kemiripan.
JBW: Saya lihat Circe punya banyak keahlian, seperti menenun, merakit, dan menempa besi. Bagian ini sangat menarik.
Bagi anda apa keahlian Circe yang sebenarnya, di samping sihir? Kemampuan beradaptasi dan tekun, mungkin?
MM: Betul. Perubahan adalah anugerah terbesar Circe. Sebagian besar dewa bersifat stagnan secara alami; mereka tidak pernah mencoba sesuatu, jadi mereka tidak pernah mengalami kegagalan, mereka tidak pernah belajar, tumbuh, atau berubah. Circe melakukan semua hal tersebut karena kemauannya tinggi. Dia adalah seorang seniman, dan seni itu sendiri membawa perubahan. Seorang seniman bisa menempa materi mentah menjadi sesuatu yang indah dan memiliki makna. Makna tersebut bisa mengganti siapapun.
JBW: Setelah kesuksesan The Song of Achilles dan sekarang Circe, Saya ingin tahu apa ada hal lain yang menarik perhatian anda.
Bisakah para pembaca AHE berharap ada novel tentang dunia kuno lagi dalam waktu dekat? Saya masih berharap anda menulis tentang Dido atau Persephone.
MM: Dido dan Persephone adalah topik yang sempurna, mereka punya banyak kisah, dan banyak yang bisa digali. Saya akui saya mengincar Aeneid karya Vergil. Tapi saat ini cerita yang membuat saya tenggelam di dalamnya adalah Tempest karya Shakespeare. Saya juga seorang sutradara di teater Shakespeare, dan saya terus memikirkan Tempest selama bertahun-tahun sampai saat ini. Ada sedikit klasik di dalamnya—Vergil dan Ovid banyak sekali disebutkan.
JBW: Terima kasih banyak, Madeline! Saya menikmati Circe, dan pasti banyak dari pembaca juga menikmatinya. Saya harap bisa membaca novel anda yang selanjutnya jika sudah waktunya.
MM: Terima kasih, James!
Madeline Miller lahir di Boston dan tumbuh di kota New York dan Philadelphia. Ia menyelesaikan kuliah sarjana dan masternya di Brown University, jurusan Studi Klasik. Dalam sepuluh tahun terakhir, ia mengajar Bahasa Latin dan Yunani, dan Shakespeare di sekolah. Ia juga berkuliah di jurusan dramaturgi di Yale School of Drama, dengan fokus adaptasi teks klasik ke bentuk modern. Saat ini tinggal di Philadelphia, PA. The Song of Achilles adalah novel perdananya. Novel keduanya, Circe, diterbitkan tahun 2018. Kunjungi situsnya: www.madelinemiller.com