Perang Karbala

10 hari tersisa

Berinvestasi dalam Pendidikan Sejarah

Dengan mendukung badan amal kami, World History Foundation, Anda berinvestasi untuk masa depan pendidikan sejarah. Donasi Anda membantu kami memberdayakan generasi penerus dengan pengetahuan dan keterampilan yang mereka butuhkan untuk memahami dunia di sekitar mereka. Bantu kami memulai tahun baru dengan siap mempublikasikan informasi sejarah yang lebih andal, gratis untuk semua orang.
$3029 / $10000

Artikel

Syed Muhammad Khan
dengan , diterjemahkan dengan Fatiya Azizah
diterbitkan pada 09 Desember 2020
Tersedia dalam bahasa lain: Bahasa Inggris, Bahasa Prancis
Dengarkan artikel ini
X
Artikel Cetak

Perang Karbala (10 Oktober 680 M) adalah operasi militer yang berlangsung di dekat sungai Eufrat (saat ini Irak). Dalam perang skala kecil ini pasukan tentara Husain bin Ali (626-680 M) dikalahkan oleh pasukan Dinasti Umayah (661-750 M). Meskipun perang ini tampak berat sebelah dan dari awal kemenangan jelas berada di tangan Umayyah, para prajurit yang gugur dari faksi Husain, termasuk Husain sendiri, sejak saat itu dihormati sebagai syuhada Islam. Perang ini juga menjadi sebab utama oposisi atau perlawanan terhadap Umayah, yang digulingkan 70 tahun kemudian di sebuah pemberontakan penuh darah. Hingga saat ini, perang karbala menjadi salah satu sejarah penting dalam kebudayaan islam dan diperingati setiap tahun di festival Asyura oleh Muslim Syiah.

Battle of Karbala by Al-Musavi
Pertempuran Karbala oleh Al-Musawi
Abbas Al-Musavi (CC BY)

Latar Belakang Sejarah

Belum jelas asal mula mengapa islam terbagi menjadi dua aliran besar yang berbeda; Suni dan Syiah. Namun, ketegangan politik telah berkembang di antara umat Muslim setelah kematian Nabi Muhammad (570-682 M). Karena Nabi umat muslim tidak memiliki keturunan laki-laki, pergantian posisi sementara menjadi permasalahan, hingga pada akhirnya Khalifah Abu Bakar (632-634 M) memimpin. Di sisi lain, kelompok yang disebut Syiah Ali (Pihak Ali) menginginkan posisi khalifah diberikan kepada sepupu sekaligus menantu Nabi, yaitu Ali bin Abi Thalib (601-661 M), suami dari anak Nabi, Fatimah binti Muhammad (605/615-632 M). Ali pada akhirnya menjadi khalifah keempat setelah tiga khalifah sebelumnya meninggal - Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Khalifah terakhir dibunuh oleh salah satu pemberontak berdarah dingin.

Sisihkan pariwara
Advertensi
Anak sulung Ali, Hasan, memegang kekuasaan untuk sementara waktu sebelum turun tahta atas permintaan Muawiyah, yang memberikannya uang pensiun tinggi.

Pembunuhan Khalifah Utsman (644-656 M) mengguncang situasi politik pemerintahan saat itu, menempatkan Ali pada posisi yang genting. Sepupu Utsman sekaligus gubernur Suriah, Muawiyah (602-680 M) atau kemudian dikenal dengan Muawiyah I (661-680 M), menuntut keadilan atas nama sepupunya. Ketika Ali gagal memenuhi tuntutannya, hubungan keduanya sebagai pemimpin dan bawahan semakin renggang, berujung pada perang saudara yang dikenal dengan nama Fitnah Pertama (656-661 M). Perang ini berakhir dengan terbunuhnya Ali oleh kelompok pemberontak yang sebelumnya adalah pengikut setianya, disebut dengan Khawarij. Kejadian ini mengakhiri era Khulafaur Rasyidin (empat khalifah yang diakui oleh Muslim Sunni).

Kematian Hasan bin Ali & Kenaikan Tahta Yazid I

Setelah kematian Ali, karir Muawiyah menjadi semakin mulus, tak lama ia mengambil posisi Khalifah tanpa pertentangan dari para tokoh saat itu. Anak sulung Ali, Hasan (juga dieja Hassan, artinya indah) memegang kekuasaan untuk sementara waktu sebelum turun tahta atas permintaan Muawiyah, yang memberikannya uang pensiun tinggi. Selain itu, Muawiyah juga melakukan perjanjian dengan Hasan, dikenal dengan Perjanjian Hasan-Muawiyah. Salah satu isi perjanjian tersebut adalah tahta akan diberikan kepada Hasan jika Muawiyah meninggal lebih dulu (sangat mungkin terjadi karena Muawiyah jauh lebih tua), namun takdir berkata lain.

Sisihkan pariwara
Advertensi

Umayyad Conquest, 7th & 8th Centuries CE
Penaklukan Umayah, Abad ke-7 & ke-8 M
Romain0 (Public Domain)

Beberapa sumber mengatakan Muawiyah memperlakukan Hasan dan adiknya, Husain bin Ali (626-680 M) dengan penuh hormat, ia bahkan sering memberikan hadiah. Namun pada 670 M, Hasan diracun oleh salah satu istrinya dengan alasan yang diperdebatkan. Tidak ada bukti sejarah yang menunjukkan Muawiyah terlibat dalam rencana pembunuhan ini, namun banyak sejarawan yagn meragukan hal tersebut, karena Muawiyah akan sangat diuntungkan dengan kematian Hasan, salah satunya adalah ia bisa menunjuk anaknya, Yazid (647-683 M) sebagai ahli waris.

Setelah kematian Hasan, Muawiyah menganggap perjanjiannya dengan Hasan batal dan mulai mengumpulkan dukungan untuk anaknya, Yazid, sebagai ahli warisnya. Hal ini meresahkan beberapa tokoh terkemuka Muslim, termasuk Husain bin Ali dan Abdullah bin Zubair (624-629 M), anak dari Zubair bin Awam (594-656), seorang tokoh negarawan Muslim dan veteran perang.

Sisihkan pariwara
Advertensi

Sejarawan Firas Al-Khatib menuliskan tentang hal ini:

Para ahli sejarah muslim selama ini berspekulasi mengenai alasan hal ini, terutama karena adanya oposisi terhadap Yazid. Namun, mengingat latar belakang Muawiyah pada saat itu, akan lebih mudah memahami mengapa perubahan ke dalam sistem keturunan lebih diminati. Era Muawiyah saat menjadi khalifah menekankan kesatuan politk dan harmoni. Setelah pergolakan politik di masa Khalifah Ali, misi terbesar Muawiyah adalah menyatukan Muslim di dunia dalam satu pemerintahan. (44)

Pengaruh Muawiyah pada akhirnya terbukti, ia berhasil mengembalikan keseimbangan pemerintahan setelah kekacauan politik yang disebabkan pembunuhan Khalifah Utsman, hal ini melambungkan dukungan kepada Yazid, yang melanjutkan pemerintahan setelah kematian ayahnya pada 680 M, mengganti sistem Khalifah Islam dari semipresidental menjadi monarki.

Perjalanan menuju Karbala

Strategi Husain adalah melakukan pertemuan rahasia dengan para pemimpin pemberontakan di Kufah, mengumpulkan kekuatan, dan memantapkan rencana pembelotan.

Sejarah tak selalu ramah pada Yazid I, ditambah adanya persepsi modern para pengamat yang menyudutkannya: "ia menjadikan pertunjukan nyanyian perempuan dan bermain dengan monyet peliharaan sebuah tradisi" (Hawting, 47). Politiknya yang janggal, ditambah dengan desas-desus mengenai sikap moralnya, kepemimpinan Yazid tampah meragukan. Abdullah dan Husain meninggalkan Madinah menuju Mekah setelah Yazid gagal bekerjasama dengan mereka. Yazid berusaha memaksa lawan-lawannya untuk tunduk dan mengambil kendali kekuasaan penuh seperti yang dilakukan ayahnya, tapi ia juga gagal melakukan kedua hal tersebut.

Kufah (daerah di Irak) adalah pusat pemerintahan Islam pada masa Ali bin Abi Thalib. Kota ini pernah dikuasai Damaskus. Pada masa ini, Husain di Mekah mendapatkan berita bahwa orang-orang Kufah mendukungnya dan menerimanya sebagai pemimpin. Husain merencanakan perlawanan terhadap pemerintahan Yazid dan mempercayai orang-orang Kufah. Strateginya adalah pertemuan rahasia dengan para pemimpin pemberontakan di Kufah, mengumpulkan kekuatan, dan memperkuat rencana pembelotan. Namun yang terjadi sama sekali di luar dugaan.

Sisihkan pariwara
Advertensi

Pertempuran Karbala

Yazid mengetahui rencana Husain dan segera merencanakan perlawanan. Ia mengumpulkan pasukan dan membangun kekuatan untuk mengantisipasi pemberontakan skala besar, meskipun pada akhirnya pasukan ini hanya terlibat dalam pertempuran kecil. Pasukan yang disiapkan untuk operasi ini diperkirakan mulai dari 4.000 tentara hingga jumlah fantastis sebanyak 30.000 tentara. Perkiraan terbaru mengatakan jumlahnya sekitar 5.000. Yazid tidak hadir dalam pertempuran ini, begitu juga dalam operasi militer lainnya selama masa pemerintahannya, kemungkinan untuk menghindar dari kesalahan. Pada operasi ini, ia menyerahkan komando kepada sepupunya, Ubaidullah bin Ziyad (m. 686 M).

Sehari sebelum musim haji, pada 9 September 680 M, Husain berangkat ke Mekah bersama keluarga dan sekitar 50 orang lainnya, mereka bergerak ke arah utara. Rombongan ini mengepung sebuah kafilah yang menuju Yaman dan melanjutkan perjalanan, namun mereka mendapatkan berita mengenai perubahan sikap Kufah di tengah perjalanan. Kota tersebut telah dibungkam karena murka Ubaidullah; dan Yazid telah memastikan Husain tidak akan menerima bantuaan dari manapun. Meskipun telah mengetahui situasi genting tersebut, pengikut setia Husain tidak ingin meninggalkannya, rombongan itu melanjutkan perjalanan dan berniat muncul di gerbang Kufah, berharap kehadiran mereka memberikan harapan dan semangat baru di kota tersebut.

Calligraphic Representation of Husayn's Name
Kaligrafi Nama Husein
Effective Light (CC BY-SA)

Dalam perjalanan menuju Kufah, rombongan tersebut bertemu dengan barisan terdepan pasukan Umayah, berjumlah sekitar 1000 pria, yang kemudian mengikuti mereka dari belakang. Pada 2 Oktober, pasukan Husain memasuki lapangan Karbala, dan pasukan tentara Umayah sampai di sana keesokan harinya. Umayah menutup jalan ke Sungai Eufrat dengan 500 pasukan kavaleri untuk memaksa Husain dan rombongannya menyerah. Rombongan Husain sempat berhasil mengambil air, tapi tidak lebih dari 20 kantong. Beberapa sumber mengatakan pada saat ini, Husain mengajukan tiga penyelesaian untuk dipertimbangkan:

Sisihkan pariwara
Advertensi
  • Mereka dibiarkan kembali ke Mekah, atau
  • Ia diberikan pos perbatasan yang jauh dari wilayah pemberontakan, atau
  • Ia dipertemukan dengan Yazid dan menyelesaikan urusan ini dengannya.

Beberapa sumber tidak setuju dengan hal ini, lainnya mengatakan di titik ini Husain sudah siap bertarung hingga mati. Kedua pihak bersiap untuk perang pada tanggal 9 Oktober. Husain memberikan pilihan kepada pengikutnya untuk menyelinap kabur dari pengungsian di pagi buta, tapi mereka menolak meninggalkan Husain. Rombongan Husain menyatukan tenda-tenda mereka dengan mengikatnya, kemudian menggali parit pertahanan di belakang garis tenda-tenda, memenuhinya dengan kayu untuk dibakar jika musuh menyerang mereka dari belakang. Petarung ditempatkan di depan tenda, parit dan tenda melindungi dari segala arah kecuali dari depan.

Pasukan Husain terdiri dari 40 infanteri dan 32 tentara kavaleri, beberapa sumber mengatakan ada 100 orang dan 45 pasukan berkuda. Bagaimanapun, pasukan Umayah jumlahnya jauh lebih besar dari mereka. Dalam pertempuran tangan kosong, pasukan Husain dikatakan lebih unggul menurut beberapa tokoh muslim, namun karena kejadian ini telah dikutip berkali-kali sepanjang sejarah dan ditambah-tambahkan, "Agaknya mustahil memisahkan sejarah dengan legenda dan pengkudusan yang menyertainya." (Hawting, 50)

Di luar semua itu, keteguhan Husain tidak diragukan, seperti yang dikatakan sejarawan John Joseph Saunders:

Meskipun perlawanan terhadap Husain sangat masif, ia bertekad mati dalam peperangan; ketika para wanita dan anak-anaknya membungkuk ketakutan di dalam tenda, ia mengeluarkan panjinya dan bertarung dengan musuh. (71)

Pertempuran dimulai pada 10 Oktober, di malam hari pasukan Husain menyalakan parit mereka dan mengukuhkan posisi mereka, melawan pasukan mush. Meski tangguh, pasukan Husain pelan-pelan melemah. Pasukan kavaleri Husain mulai gugur ketika mereka kehilangan kuda-kuda mereka dan harus meneruskan pertempuran tanpa kuda, mereka berhasil membuat pasukan Umayah mundur beberapa kali. Setelah salah satu pemunduran itu, musuh mereka membakar tenda pasukan Husain, berharap jika tenda-tenda mereka dihanguskan, pasukan Husain bisa dengan mudah dikepung. Di sore hari, rombongan Husain dikelilingi dan dibantai, banyak non-kombatan berusaha menyembuhkan mereka; mereka adalah remaja laki-laki yang tidak terselamatkan, "keponakannya, Kasim, anak laki-laki berumur sepuluh tahun, meninggal di tangannya, dan kedua anak laki-laki serta enam saudara laki-lakinya juga meninggal" (Saunders, 71).

Battle of Karbala
Pertempuran Karbala
Andreas Praefcke (Public Domain)

Konon, Husain masih tetap bertarung meskipun terluka parah, di mulutnya ada panah dan kepalanya terhantam, namun ia tidak berhenti berperang sampai kepalanya dipenggal oleh musuh. Saat perang berakhir, sekitar 70 tentara Husain tergeletak tak bernyawa di tanah, mayat-mayat tanpa kepala dikirim ke Damaskus. Harta Husain dicuri, pemukimannya dijarah, dan para wanita dan anak-anak dipenjarakan (sebelum dihadapkan ke Yazid). Satu-satunya anak Husain yang selamat, Ali Zainal Abidin (659-713 M), yang tidak terlibat dalam perang karena sakit dibebaskan, namun kehilangan yang harus ditanggung pihak Ali sangat besar.

Korban Bani Umayah kira-kira ada 88 tentara, semuanya telah dikuburkan sebelum pasukan meninggalkan wilayah tersebut, hal ini tidak terjadi pada pihak Husain. Setelah pasukan dan tawanan pergi, penduduk lokal sekitar melakukan upacara pemakaman resmi untuk Husain dan pengikutnya, mereka dikubur tanpa kepala; wilayah ini kemudian diabadikan hingga hari ini dan dianggap sebagai tanah suci oleh Muslim Syiah, meskipun Muslim Sunni tidak menganggap Perang Karbala memiliki nilai agamis, kejadian ini dianggap peristiwa yang menunjukkan ketabahan dan ketangguhan Husain dan pendukungnya.

Pasca Perang

Menurut beberapa sumber, ketika jenderal kembali dari perang dengan membawa kepala musuh yang kalah, ia menyodoknya dengan sebuah tongkat, sumber lainnya mengatakan Yazid lah yang melakukannya di Damaskus di depan umum, ia kemudian ditegur oleh seorang pria tua renta yang ternyata salah satu pengikut Nabi. Tidak diketahui mana versi yang benar, namun Yazid tidak menyiksa para tawanan, mungkin takut jika hal tersebut akan memberatkan posisinya, namun hal ini tidak berpengaruh. Beberapa mengatakan Yazid bahkan mengutuk sepupunya karena membunuh Husain, berkata bahwa jika ia ada di sana, ia akan membiarkannya hidup. Para wanita di pihak yang kalah dan bahkan dari keluarga Yazid menangis, mereka meminta pemerintah untuk mengirim mereka kembali ke Madinah, dengan bekal uang kompensasi. Namun, masalah Yazid masih jauh dari selesai.

Walaupun kejadian ini awalnya tidak signifikan, akibatnya menjadi tidak terkendali dan terjadilah Fitnah Kedua.

Apa yang terjadi setelah kematian Husain berbanding terbalik dari yang diharapkan Yazid. Meskipun kejadian ini hampir tidak berpengaruh, ada perubahan drastis dan membatasi kekuasaan Umayah terhadap Tembok Damaskus, diikuti dengan kematian Yazid dan meledaknya perang saudara kedua, yang disebut dengan Fitnah Kedua (680-692 M). Yazid gagal menjaga jarak dengan kasus kematian Husain, dan pihak oposisi semakin kuat.

Yazid memerintahkan pasukannya pergi ke arah Madinah dalam rangka antisipasi pemberontakan skala besar. Pasukan Umayah memusnahkan penduduk asli pada Pertempuran al-Harrah (683 M), kemudian mengepung kota tersebut. Pasukan Suriah kemudian maju menuju Mekah, yang saat itu dipimpin oleh Abdullah bin Zubair. Pengepungan Mekah berhenti karena kematian Yazid, namun di tengah pertempuran, penutup Ka'bah terbakar (tempat suci umat Islam, pertama kali dibangun oleh Ibrahim dan Ismail). Abdullah mengumumkan dirinya sebagai khalifah (683-692 M) dari Mekah dan memperluas kekuasaannya ke Hijaz, Irak, dan Mesir. Kematian Yazid melemahkan kontrol para penerusnya di Damaskus, anaknya, Muawiya II (683-684 M) meninggal hanya beberapa bulan setelah diberikan tahta–pada saat itu, beberapa sumber mengatakan ia menjaga jarak dengan ayahnya, dan mengungkap kesedihan atas kejatuhan Alids.

Map of the Middle East during the Second Fitna (c. 686 CE)
Peta Timur Tengah saat Fitnah Kedua (686 M)
Al Ameer son (CC BY-NC-SA)

Di Kufah, seorang pemberontak bernama Al-Mukhtar (622-687 M) mengambil alih kota pada 685 M. Sebelumnya ia adalah bawahan Abdullah. Mukhtar mendapatkan dukungan ketika pasukan Umayyah menyerang Kufah, namun ambisi terdalamnya kemudian terungkap. Ubaidullah, yang memimpin pasukan ke Karbala dan terbunuh di Kufah, ditusuk dengan pedang berkali-kali. Mukhtar juga memburu orang-orang yang terlibat dalam kematian Husain, namun hal ini menjadi bumerang ketika ia berpisah dengan kedaulatannya, yang membalas serangan ke ibukotanya pada 687 M.

Setelah Mukhtar tersingkirkan, pasukan Umayyah hanya berhadapan dengan Abdullah, yang kemudian meninggal saat mempertahankan Mekah dari pasukan Umayah pada 692 M, mengakhiri Fitnah Kedua. Sejak saat itu, pasukan Umayah berhasil mempertahankan kekuasaan mereka selama kurang lebih enam dekade. Bibit-bibit perselisihan yang dimulai sejak di lapangan Karbala kemudian menghasilkan Revolusi Abbasiyah (750 M), masa ini tidak hanya menggulingkan kekuasaan Umayah, namun mereka juga mereka juga menerima perlakuan terburuk sepanjang sejarah Kerajaan Islam.

Warisan

Kematian Husain menimbulkan kebencian mendalam terhadap Umayah, hingga jangka waktu yang panjang setelah kematian Yazid. Salah satu alasan terbesar mengapa Revolusi Abbasiyah berhasil adalah karena mereka sukses mengumpulkan simpati masyarakat Syiah. Bahkan hingga saat ini, teladan Husain dikutip berulang kali dalam sejarah Islam dan dianggap penting oleh sejarawan barat.

Kematian Husain menjadi hal fundamental bagi pengikut Syiah dan momen penting bagi pengikut Sunni. Kedua pihak menggap Husein sebagai syahid yang melawan penindasan dalam situasi yang berat. Saat ini, nama Husain banyak digunakan untuk menamai anak-anak di kalangan muslim Sunni maupun muslim Syiah. Sebaliknya, nama Yazid dinilai tabu.

Imam Husayn Shrine, Karbala
Kuil Imam Husain, Karbala
SFC Larry E. Johns, USA (Public Domain)

Hingga saat ini, tanggal kematian Husain, yaitu 10 Muharam dalam kalender islam, diperingati dalam festival Asyura (Asyura berarti "hari kesepuluh") oleh kalangan Syiah yang berlangsung dari tanggal 9 hingga tanggal sepuluh di bulan tersebut. Mereka mengungkapkan perasaan melalui ritual pukul dada dan dera diri serta puji-pujian terhadap Husein sambil terang-terangan mengusir dan mengutuk musuh-musuhnya. Sementara muslim Sunni menganggap hal ini tercela karena bertentangan dengan nilai-nilai yang ia perjuangkan; yaitu kehormatan, komitmen, keberanian, dan iman. Mereka juga tidak setuju dengan fakta bahwa semua kritik tertuju pada Umayyah, betapapun bukti-bukti telah terungkap, sementara kaum Kufah (yang meninggalkan Husein) hampir tidak disinggung sama sekali.

Sisihkan pariwara
Advertensi

Daftar Pustaka

Ensiklopedia Sejarah Dunia adalah Rekanan Amazon dan mendapatkan komisi atas pembelian buku yang memenuhi syarat.

Tentang Penerjemah

Fatiya Azizah
Fatiya is passionate about history, especially related to language and literature. She has graduated with English Literature degree.

Tentang Penulis

Syed Muhammad Khan
Muhammad adalah ahli biologi, penggiat sejarah, dan penulis lepas. Muhammad aktif berkontribusi untuk Ensiklopedia sejah 2019.

Kutip Karya Ini

Gaya APA

Khan, S. M. (2020, Desember 09). Perang Karbala [Battle of Karbala]. (F. Azizah, Penerjemah). World History Encyclopedia. Diambil dari https://www.worldhistory.org/trans/id/2-1645/perang-karbala/

Gaya Chicago

Khan, Syed Muhammad. "Perang Karbala." Diterjemahkan oleh Fatiya Azizah. World History Encyclopedia. Terakhir diubah Desember 09, 2020. https://www.worldhistory.org/trans/id/2-1645/perang-karbala/.

Gaya MLA

Khan, Syed Muhammad. "Perang Karbala." Diterjemahkan oleh Fatiya Azizah. World History Encyclopedia. World History Encyclopedia, 09 Des 2020. Web. 21 Des 2024.