Periode Asuka (Asuka Jidai) Jepang kuno mencakup periode dari tahun 538 Masehi hingga 710 Masehi dan, sebagai lanjutan dari Periode Kofun (sekitar 250-538 Masehi), merupakan bagian akhir dari Periode Yamato (sekitar 250-710 Masehi). Bagi beberapa sarjana periode ini dimulai tahun 593 Masehi, dan untuk para sejarawan seni akhir Periode Asuka adalah pad atahun 645 Masehi. Periode ini mengalami peningkatan hubungan Jepang dengan kekuatan regional lain, pemerintahan oleh tokoh-tokoh terkenal seperti Pangeran Shotoku, pendirian klan Fujiwara yang berkuasa dan pengadopsian Buddhisme. Periode ini diikuti oleh Periode Nara (710-794 Masehi).
Ikhtisar Sejarah
Nama Periode Asuka berasal dari ibu kota pada zaman itu, Asuka, berlokasi di prefektur Nara. Pada tahun 645 Masehi ibu kota pindah ke Naniwa, dan antara tahun 694 dan 710 Masehi ibu kotanya adalah Fujiwarakyo. Pada akhir periode, di tahun 710 Masehi, ibu kota berpindah lagi, kali ini ke Heijokyo (atau Nara).
Penetapan kaisar sejarah yang pertama kali (berlawanan dengan legenda atau mitos) terjadi pada periode ini, Kaisar Kimmei, yang merupakan generasi ke-29 dalam garis kerajaan dan berkuasa dari tahun 531 atau 539 Masehi sampai 571 Masehi. Penguasa yang paling signifikan pada periode ini adalah Ratu Suiko dan wakilnya Pangeran Shotoku. Sang pangeran adalah putra kedua dari Kaisar Yomei (memerintah 585-587 Masehi) dan memerintah atas nama Ratu Suiko dari tahun 594 Masehi hingga kematiannya tahun 622 Masehi. Pangeran Shotoku, juga dikenal sebagai Umayado no Miko, namanya dikreditkan dalam reformasi pemerintahan, pemberantasan korupsi, dan menghilangkan sistem pejabat mendapatkan jabatan melalui warisan serta mengukuhkan hubungan dengan Tiongkok. Berdasarkan Nihon Shoki (Kronologi Jepang dan juga dikenal sebagai Nihongi), yang ditulis pada tahun 720 Masehi, masyarakat Jepang sangat berduka atas kematian pangeran yang baik ini:
Matahari dan bulan kehilangan cahayanya; surga dan bumi runtuh menjadi puing-puing: lalu kepada siapa kita menaruh kepercayaan? (Mason, 40)
Peristiwa politik penting berikutnya pada Periode Asuka terjadi pada tahun 645 Masehi ketika pendiri klan Fujiwara (Fujiwara-Shi), Fujiwara no Kamatari (selajutnya dikenal sebagai Nakatomi), melakukan kudeta yang mengambil alih kekuasaan dari klan Soga (Soga-Shi) yang saat itu mendominasi. Klan Soga memiliki asal-usul dari Korea dan mereka sudah mengendalikan pemerintahan sejak tahun 587 Masehi. Pemerintahan yang baru dirombak ulang sesuai garis Tiongkok yang dikenal sebagai Reformasi Taika (Taika no Kaishin) di mana tanah dinasionalisasi, pajak dibayar dalam bentuk barang bukan tenaga, peringkat sosial dikategori ulang, ujian masuk pegawai negeri diperkenalkan, undang-undang ditulis dan kekuasaan mutlak kaisar disahkan. Pangeran Naka no Oe menjadi Kaisar Tenji dan Kamatari diangkat menjadi menteri senior dan diberi nama marga Fujiwara. Ini adalah awal dari klan paling berkuasa di Jepang yang akan memonopoli pemerintahan pada Periode Heian (794-1185 Masehi).
Peristiwa Jinshin tahun 671-672 Masehi adalah konflik internal yang pendek namun berdarah antara kelas penguasa yang memperdebatkan masalah penerus setelah kematian Kaisar Tenji. Pada akhirnya, kaisar baru, Kaisar Temmu (memerintah 672-686 Masehi) mengambil kesempatan untuk memangkas keluarga besar kerajaan agar hanya keturunannya dan keturunan istrinya, Jito (memerintah 686-697 Masehi), saja yang bisa mengklaim hak takhta kerajaan. Pada tahun 685 Masehi, Kaisar Temmu juga mengangkat para pengikutnya sendiri untuk menduduki posisi kunci dalam birokrasi negara; menciptakan tentara wajib militer dan melarang warga membawa senjata. Fujiwarakyo dipilih sebagai ibu kota Jepang yang pertama yang memiliki istana bergaya Tiongkok dan jalanan dengan pola kisi-kisi teratur. Sistem mata uang di Jepang yang pertama kali, Waido kaiho, diperkenalkan pada bagian paling akhir periode ini di tahun 708 Masehi.
Hubungan dengan Tiongkok dan Korea
Pada Periode Asuka hubungan budaya yang signifikan dipelihara dengan kerajaan Baekje (Paekche) di Korea, hubungan dengan semenanjung Korea sudah dibuat sejak abad ke-4 Masehi, terutama dengan konfederasi Gaya di Korea. Kebudayaan Baekje yang maju dieskpor lewat guru, sarjana dan seniman yang melancong ke Jepang dan elemen-elemen budaya Tiongkok turut masuk bersama mereka seperti teks-teks Konfusianisme klasik dan juga elemen-elemen budaya Korea, sebagai contoh, seperti yang terlihat pada bangunan-bangunan kayu yang dibangun oleh arsitek Korea. Hubungan yang sebenarnya antara Korea dan Jepang pada periode ini kontroversial, namun sepertinya pejabat-pejabat Baekje menduduki posisi penting dari pemerintahan Yamato dan kemungkinan bercampur dalam garis kerajaan, terutama dalam klan Soga. Pengaruh Tiongkok juga terlihat dalam penyusunan konstitusi di tahun 604 Masehi, Tujuh Belas Pasal Konstitusi (Jushichijo-kenpo), yang mensentralisasi pemerintahan dan menekankan prinsip-prinsip Buddhisme dan Konfusianisme, terutama pentingnya harmoni (wa). Pangeran Shotoku dikreditkan dalam menciptakan konstitusi ini.
Mungkin yang paling penting dari semuanya, dan dampak budaya asing yang paling tahan lama, adalah diperkenalkannya Buddhisme di Jepang sekitar abad ke-6 Masehi,atau tahun 552 Masehi secara tradisional. Buddhisme secara resmi diadopsi oleh Kaisar Yomei dan didukung lebih lanjut oleh Pangeran Shotoku yang membangun beberapa kuil, membentuk sebuah lembaga seniman untuk menciptakan gambaran Buddhis, dan ia sendiri adalah penganut ajaran Buddha. Secara umum Buddhisme disambut baik oleh kaum elit Jepang (mengecualikan penolakan awal dari klan Mononobe dan Nakatomi yang pro-Shinto) karena membantu menaikkan status budaya Jepang sebagai negara maju di mata para tetangga yang kuat, Korea dan Tiongkok. Pangeran Shotoku juga mengirim duta besar resmi kepada kerajaan Sui di Tiongkok sekitar tahun 607 Masehi dan selama abad ke-7 Masehi.
Hubungan Jepang dengan para tetangga tidak selalu bersahabat. Kerajaan Silla, saingan lama Kerajaan Baekje di semenanjung Korea, akhirnya mengalahkan tetangganya pada tahun 660 Masehi dengan bantuan dari kekuatan angkatan laut Tiongkok yang besar. Pemberontak Baekje membujuk Jepang untuk mengirimkan 800 kapal di bawah perintah Abe no Hirafu untuk membantu usaha mereka memperoleh kembali kekuasaan di kerajaan mereka, namun kerja sama ini dikalahkan dalam Perang Baekgang (Hakusonko) di mulut sungai Geum/Paekchon tahun 663 Masehi. Kesuksesan Persatuan Kerajaan Silla menghasilkan gelombang imigran yang memasuki Jepang dari kerajaan Baekje dan Goguryeo yang jatuh.
Seni dan Arsitektur
Seni berkembang pesat pada Periode Asuka dan memunculkan nama alternatif, Periode Suiko (552-645 Masehi), sesuai nama Ratu Suiko (memerintah 592-628 Masehi). Kesusastraan dan musik yang mengikuti gaya Tiongkok dengan aktif dipromosikan oleh istana dan seniman dibebaskan dari pajak. Pematung menghasilkan patung-patung Buddha dari kayu dan perunggu berlapis emas dalam jumlah besar. Puisi-puisi digubah dan bisa ditemukan dalam Manyoshu atau ‘Kumpulan 10.000 Daun’, yang dikompilasikan sekitar tahun 760 Masehi, yang membuatnya sebagai antologi puisi paling awal dalam kesusastraan Jepang.
Selama masa pemerintahan Pangeran Shotoku, 46 biara Buddha dan kuil dibangun, yang paling terkenal adalah Shitennoji (593 Masehi), Hokoji (596 Masehi) dan Horyuji. Yang terakhir ini selesai pada tahun 607 Masehi namun habis terbakar sekitar tahun 670 Masehi, yang kemudian dibangun kembali; ini adalah satu-satunya biara Periode Asuka yang masih dalam bentuk aslinya. Kompleks biara ini – yang terdiri dari 48 bangunan termasuk sebuah pagoda 5 tingkat – memiliki bagunan kayu tertua di Jepang.
This content was made possible with generous support from the Great Britain Sasakawa Foundation.